IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Lucius Tuamanggor
I. PENDAHULUAN
David Hume (1711-1776), seorang filsuf Pencerahan kelahiran Skotlandia, berpandangan bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman. Pandangan ini berseberangan dan merupakan tanggapan atas filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.
David Hume mengatakan “Tidak”. Tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat.
Ide dan kesan dalam pandangan Hume dipakai untuk menjelaskan pengalaman manusia. Setiap pengalaman bersumber dari ide dan kesan. Menjadi pertanyaan khususnya berhubungan dengan motivasi paper secara umum ke arah dualisme, apakah ide dan kesan dapat dipandang sebagai dualisme? Karena secara eksplisit Hume tidak berbicara tentang dualisme, namun demikian kami melihat bahwa ide dan kesan dalam pandangan Hume dapat dijadikan sebagai gagasan untuk memahami dualisme. Jalan pikiran kami mengalir dari maksud dari dualisme itu sendiri yang hendak mengatakan eksistensi dari dua bidang yang mandiri tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melekat dalam diri substansinya. Misalnya; jiwa dan badan. Untuk memahami manusia seutuhnya kita tidak bisa hanya melihat dari badannya saja tanpa memahami jiwa, dan demikian sebaliknya.
Demikianlah juga dalam hal ide dan kesan. Ide dan kesan dua terminologi yang membantu kita untuk memahami pengalaman manusia. Manusia yang memiliki pengalaman, dan pengalaman adalah bagian dari hidup manusia, dan di dalam pengalaman manusia terdiri dari dua unsur yaitu ide dan kesan. Pengalaman tidak bisa dipahami hanya dari ide saja dan tentunya juga dari kesan saja. Bagaimana ide dan kesan dipahami, inilah yang akan kami bahas dalam paper ini.
II. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang.
Jenis pengetahuan kedua adalah gagasan atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya. Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume Pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu dalam hidup kita. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti Apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada ‘masternya’ sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu’ saya yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah; dan ini mustahil. Kita selalu berubah. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
Hume mendasari pernyataan ini pada kepercayaan. Kepercayaan hanya bisa diperoleh dari pengetahuan langsung bersifat kuat, jernih, dan ‘mendalam’. Dia memberikan suatu analogi untuk menjelaskan pernyataannya dari mana seseorang menemukan kepercayaan. Hume mengatakan bahwa saya percaya bahwa api itu panas karena saya pernah menyentuh api dan ternyata memang panas. Saya percaya bahwa salju itu dingin karena saya pernah membaca bahwa salju itu dingin. Kedua jenis ‘percaya’ ini berbeda ‘rasanya’ bagi saya. Yang pertama (api) saya percayai panasnya secara eksistensial; seluruh ‘diri’ saya ikut merasakannya. Sedangkan yang kedua (salju) saya percayai dinginnya secara teoritis; hanya ‘akal’ saya saja yang merasakannya lewat kemampuannya melakukan asosiasi dan analogi. Dalam benak terpikir mungkin dinginnya salju sama dengan es krim atau batu es; tetapi tidak pernah saya percaya seratus persen karena tidak pernah ‘mengalami’ salju secara langsung. Karena seumur hidup belum pernah melihat salju dan menyentuhnya secara langsung, maka kepercayaan saya pada salju yang dingin tidak sekuat kepercayaan saya bahwa api itu panas.
III. TINJAUAN KRITIS
(mari kita lanjutkan bersama.....)
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. (bersambung....)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar