Selasa, 05 Oktober 2010

REINKARNASI MENURUT PAHAM BARAT DAN TIMUR (KAJIAN FILSAFAT PERBANDINGAN)

REINKARNASI MENURUT PAHAM BARAT DAN TIMUR
(KAJIAN FILSAFAT PERBANDINGAN)
By: Lucius Tumanggor, SVD

I. PENGANTAR
Paper ini akan berbicara tentang “reinkarnasi menurut paham Barat dan Timur”. Tema ini lahir saat penulis bersama beberapa teman pernah mengangkat satu tema untuk bahan diskusi dalam tugas kelompok. Tema itu adalah tentang “Kematian” dalam perbandingan Barat dan Timur. Dan tema itu pulalah yang kami angkat dalam presentasi kelompok pada studi perbandingan Barat dan Timur. Dalam masukkannya, ada beberapa dari teman-teman mahasiswa menganjurkan agar tema ini dilanjutkan kembali khususnya untuk membahas persoalan “apa yang terjadi setelah peristiwa kematian manusia”. Bagi penulis, peristiwa itu tidak lain adalah peristiwa “reinkarnasi”. Sebagai jawaban atas itu, penulis mengangkat tema reinkarnasi sebagai bahan kajian dalam tulisan paper ini.
Tema ini (reinkarnasi) akan kelihatan memiliki kelanjutan dari tema “kematian” yang pernah kami angkat dalam kelompok. Dalam paper ini juga akan ditemukan beberapa kesamaan tulisan atau ide dengan tema yang sudah dibahas. Mengapa? Karena tulisan tentang “Kematian” sendiri adalah gagasan, tulisan dan ide pokoknya dari penulis sendiri dan teman kelompok hanya mengikuti proses berpikir dari penulis sendiri. Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan siapa-siapa, namun hanya untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam isi paper ini. Maka hal ini kami sampaikan kepada dosen pembimbing yang terhormat agar dapat memakluminya. Kami sengaja menyampaikan ini semata-mata untuk mengindari adanya kesalahpahaman saja.
Untuk memudahkan pemahaman kita atas materi ini, penulis membuat skema sebagai berikut. Bagian pertama adalah pengantar. Dalam pengantar akan disinggung alasan lahirnya tema ini. Selain alasan, juga dibahas bagaimana skema pemikiran paper ini. Kemudian dalam bagian kedua, penulis menyajikan apa arti terminology reinkarnasi. Setelah memahami dengan baik artinya, pada bagian ketiga, penulis masuk pada bagaimana orang Timur memahami reinkarnasi. Pada bagian keempat, bagaimana orang Barat memahami reinkarnasi serta pada bagian kelima akan dibahas bagaimana kekristenan memandang reinkarnasi itu sendiri. Setelah itu, maka penulis menyimpukannya dalam penutupan paper ini. Inilah rangkaian yang akan menghiasi isi dari paper ini.
II. ARTI REINKARNASI
Istilah reinkarnasi diadopsi dari kata latin “reincarnari” yang artinya “dijelmakan lagi, penjelmaan kembali” atau “kelahiran kembali dalam tubuh”. Kata incarnari dalam bahasa latin berasal dari kata “caro-carnis” yang berarti “daging atau tubuh” . Dalam bahasa Sanskerta reinkarnasi dipahami sebagai jiwa (atman) seseorang setelah kematiannya dilahirkan kembali dalam orang lain (atau binatang) karena karmanya. Atman atau diri manusia dipandang bukan individual, apalagi personal. Dari terminology ini kita bisa memahami bahwa pengertian inkarnasi mengarah pada “kelahiran kembali jiwa atau diri manusia dalam wujud daging atau tubuh manusia, ataupun bisa dalam bentuk binatang atau makhluk lainnya.
III. REINKARNASI DALAM PAHAM TIMUR
Konsep reinkarnasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kebudayaan Timur. Reinkarnasi telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat China-India. Paham reinkarnasi telah tertanam dalam perasaan dan emosi dari orang-orang China. Kepercayaan ini tercermin dalam watak, kebiasaan, cara pandang, serta interaksi mereka dalam hal hubungan, keyakinan, filososfi serta kepercayaan seseorang.
3.1. Reinkarnasi dalam pandangan orang India
Orang India sangat percaya dengan adanya reinkarnasi dalam kehidupan manusia setelah peristiwa kematiannya. Keyakinan ini berasal dari sebuah tradisi yang sudah lama mengakar dalam keyakinan dan budaya mereka, yakni tradisi hinduisme. Dalam hinduisme, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka.
Dalam paham ini orang India meyakini bahwa reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya.
Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya. Ajaran ini juga memberi optimisme kepada manusia, bahwa semua perbuatannya akan mendatangkan hasil, yang akan dinikmatinya sendiri, bukan orang lain.
Proses Reinkarnasi Dalam Diri manusia
Samsara.
Samsara adalah seseorang yang setelah kematiannya akan mengalami pengembaraan. Ia akan mengembara dan menuju kepada pengembaraan jiwa dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain, dari masa kehidupan yang satu ke masa kehidupan yang lain, dari lahir, hidup, sampai mati. Dapat dibandingkan dengan tunas yang baru tumbuh di atas pohon pada setiap musim semi, meskipun tampaknya pohonnya sudah mati ketika musim dingin. Bagi orang India, baik alam dunia maupun alam manusia mempunyai kecendrungan untuk “mengulang kembali” kehidupan yang sama.
Karma
Alasan mengapa semua benda yang hidup terus-menerus dilahirkan kembali adalah karma, hukum sebab-akibat. Orang Hindu percaya bahwa karma yang menumpuk dalam kehidupan sebelumnya pindah ke masa kini dan sangat menentukan wujud kelahiran jiwa kembali. Setiap orang Hindu berusaha menghindari diri dari efek karma pada kelahiran kembali berikutnya dengan melakukan perbuatan amal dan hidup dengan tidak mementingkan sendiri. Bagavad Gita mengajarkan bahwa itulah satu-satunya cara supaya dapat dilahirkan kembali dengan sedikit mungkin karma. Karma yang buruk memastikan bahwa jiwa manusia akan kembali pada kehidupan yang akan datang dengan tingkat yang lebih rendah.
Moksa
Moksa adalah akhir dari samsara –pengembaraan jiwa dan merupakan tujuan setiap orang (Hindu). Spiritualitas Hindu pertama-tama tertuju pada membawa jiwa manusia pada “pantai yang lain”, dengan kata lain, pengajaran untuk dapat menemukan pembebasan dari kelahiran kembali. Untuk menjalankannya orang Hindu merasa perlu untuk menetralisasi karma dengan cara menghindarkan diri dari semua keinginan. Cara ini adalah semacam mendapat emas dari logam yang masih kotor: cara ini membutuhkan banyak usaha, tetapi akhirnya akan mendapatkan emas murni. Pada akhir proses ini jiwa masuk kembali ke dalam alam ilahi –Brahman. Untuk mengerti prose ini, orang Hindu sering menggunakan gambaran bagaikan sungai yang pada akhirnya mengalirkan airnya ke dalam lautan, dan ditelan olehnya. Peristiwa ini hanya bisa terjadi jika jiwa sungguh-sungguh suci dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang terjadi ketika hidup di dunia. Maka itu, jiwa dapat kembali pada bagian dari Brahman –yang darinya jiwa itu berasal.
3.2. Reinkarnasi dalam pandangan orang China
Orang China juga meyakini adanya proses reinkarnasi dalam diri seseorang setelah peristiwa kematian. Kepercayaan ini berasal dari ajaran budhisme yang sudah lama mengakar dalam budaya dan keyakinan hidup orang-orang China. Reinkarnasi dalam Budhisme disebut punabbhava (proses kelahiran kembali). Maksudnya adalah semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus mengalami proses lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesuciannya. Tingkat kesucian ditentukan oleh karma makhluk tersebut; bila ia baik akan terlahir di alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang menderitakan. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya karma pada detik kematiaannya, bila pada saat ia meninggal dia berpikiran baik maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, namun sebaliknya ia akan terlahir di alam yang menderitakan, sehingga segala sesuatu tergantung dari karma masing-masing.
Proses Reinkarnasi Dalam Diri Manusia
Karma
Dalam tulisannya, Michael Keene mengatakan bahwa karma disebut jumlah perbuatan manusia, mempunyai pengaruh langsung dalam bentuk kehidupan manusia pada masa yang akan datang. Tingkat perbuatan moral menentukan apakah seseorang akan mengalami reinkarnasi atau mencapai nirvana. Umat awam budha berusaha membangun karma yang baik dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang yang diperintahkan. Dengan cara ini, mereka berharap dapat dilahirkan kembali dengan baik.
Nirvana
Lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian yang tanpa akhir disebut samsara, yang artinya “pengembara tiada akhir”. Semua makhluk hidup adalah bagian dari lingkaran ini dan mereka tidak bisa bebas dari lingkaran itu sampai mereka mencapai nirvana. Nirvana adalah “tempat kesejukan –adalah keadaan dimana nafsu yang berkobar-kobar dan keserakahan dipadamkan.
3.3. Hinduisme-Budhisme: Reinkanasi Adalah Lahir Kembali
Bagi orang India dan Cina, kematian bukanlah peristiwa yang menakutkan karena setelah kematian, manusia mengalami reinkarnasi (kelahiran kembali). Reinkarnasi dalam Budhisme disebut punabbhava (proses kelahiran kembali). Maksudnya adalah semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus mengalami proses lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesuciannya.
Dalam budhisme diajarkan bahwa alam kelahiran ditentukan oleh karma makhluk tersebut; bila ia baik akan terlahir di alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang menderitakan. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya karma pada detik kematiaannya, bila pada saat ia meninggal dia berpikiran baik, maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, namun sebaliknya, ia akan terlahir di alam yang menderitakan.
Dan dalam paham hinduisme, reinkarnasi pandang sebagai proses kesadaran. Maksudnya,manusia diajar supaya memiliki kesadaran terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Mengapa harus ada reinkarnasi? Reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya.

IV. REINKARNASI DALAM PAHAM BARAT
Kalau kita melihat pemikiran-pemikiran filosofis Barat, hampir tidak ada yang berminat untuk mengkaji paham tentang reinkarnasi. Reinkarnasi sebagaimana dalam pandangan Timur sangat sulit untuk dipahami dalam koridor rasio manusia. Rasio manusia sangat sulit untuk memahami apalagi memastikan apa dan bagaimana peristiwa manusia setelah kematiaannya. Secara filosofis, manusia Barat dipenuhi dengan pesimistis dan keragu-raguan. Reinkarnasi adalah suatu mitos kuno untuk menenangkan hati manusia dalam menghadapi realitas kematian. Sebab bagi mereka kematian adalah sesuatu yang menakutkan.
Dalam refleksinya, orang Barat melihat bahwa kematian itu menyakitkan dan jiwa akan mengalami sengsara dalam fase sesudah mati. Kematian tidak lain adalah pengalaman tragis dan menyedihkan bagi orang yang ada di sekitar. Dalam bukunya tentang “Death and Dying”, Dr. Elisabeth Kubler-Ross mengatakan bahwa gejala yang paling umum dialami oleh manusia yaitu rasa takut. Hal ini diperoleh lewat penelitiannya saat wawancara dengan para pasien di rumah sakit. Dia mengatakan bahwa pada umumnya pasien menolak dan menyangkal, tidak percaya bahwa hal ini mesti terjadi atas diri mereka. Bukan dirinya tapi orang lain yang harus mati. Orang Barat sangat sulit untuk mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Mereka beranggapan bahwa kehidupan setelah mati adalah ketidakmungkinan. Kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati secara metafisik tidak mungkin, tidak memiliki dasar empiris. Hal ini sangat menakutkan oleh karena ketidakjelasan setelah peristiwa kematian.
Dalam karyanya tentang Sein und zeit (“ada dan waktu”), Heideger pernah mengatakan bahwa manusia “terdampar/ terlempar” di dunia ini ke arah maut sedemikian, sehingga keberadaan (eksistensi) manusia itu sama dengan “ ada ke arah maut”. Heideger melihat bahwa gejala maut itu hadir dalam kesuluruhan hidup manusia ( dalam inti “ada”) itu. Bagaimana Heideger sampai pada pengertian di atas? Heideger memahami bahwa keseluruhan manusia itu menampakkan diri dalam pengalaman yang disebut khawatir. Kekawatiran tampak dalam kenyataan bahwa manusia selalu dibayangi oleh kemungkinan akan ketidakberdayaan akan maut.
Berhadapan dengan kematian, manusia pun merasakan ketakutan dan kekawatiran. Ketakutan akan apa? Yakni, ketakutan akan maut. Ketakutan akan maut, bagi Heideger, tidak lain adalah kekawatiran manusia itu sendiri akan kematian. Maut itu adalah kematian yang mengancam kehidupan manusia. Kematian menjadi Kekhawatiran setiap orang. Mengapa? karena dengan ancaman kematian tersebut, “adanya” (Dasein) manusia tidak membuka kemungkinan-kemungkinan lagi, manusia tidak dapat merencanakan lagi, manusia habis, tiada (menjadi tidak ada lagi). Heideger menyimpulkan bahwa akibat dari kelahiran adalah kematian. Sejak kelahiran manusia, kematian sudah menunggunya. Sekali mati tetap mati tidak ada masa depan lagi.
V. REINKARNASI DALAM KEKRISTENAN
Reinkarnasi berarti bahwa jiwa (atman dalam bahasa sanskerta) seseorang setelah kematiannya dilahirkan kembali dalam orang lain (atau binatang) karena karmanya. Atma atau diri manusia dipandang bukan individual, apalagi personal. Pandangan reinkarnasi (samsara) yang terdapat dalam beberapa agama dalam kepercayaan ditolak tegas oleh agama Kristen. Sebab, manusia tidak mungkin menebus dirinya, walaupun mengusahakannya dengan beberapa kali dilahirkan.
Reinkarnasi ini bertentangan dengan ajaran Kristen mengenai martabat –pribadi setiap orang tentang personalitas serta tanggung jawab dan mengenai –pengadilan setiap orang setelah kematiaannya sesuai iman dan perbuatannya. Kelahiran dalam manusia lain tiada hubungan dengan kelahiran kembali manusia sebagai Anak Allah dalam pembaptisan. Reinkarnasi bukan jalan untuk –akhirnya –akhirnya –menjadi baik, karena bukan kitalah yang menciptakan keselamatan abadi, melainkan Allahlah yang menganugerahkannya kepada orang beriman.

VI. PENUTUP
Reinkarnasi dalam pemahaman orang India dan Budha bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kualitas kehidupannya. Untuk apa? Hanya untuk boleh menikmati kebahagiaan yang tertinggi (Brahman-nirvana).
Namun, adakah hal ini menjadi inspirasi orang Barat? Tidaklah demikian. Orang Barat melihat hal ini hanya semata-mata mitos kuno yang yang sama sekali tidak dapat dibuktikan lewat ratio manusia. Peristiwa sesudah kematian adalah peristiwa menakutkan dan menggelisahkan. Sebab manusia tidak memiliki pengalaman akan hal itu.
Namun, ketika manusia mengalami ketidakjelasan dan ketakutan akan peristiwa setelah kematian, Kekristen meyakini dan menjamin adanya keselamatan jiwa lewat kepercayaan Pada Allah dalam diri Yesus Kristus sebagai Sang Juru selamat. Manusia tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuan Tuhan yang menjadi Pengantara manusia. Bila manusia ingin hidup dan lahir secara baru, maka ia harus lebih dahulu percaya percaya kepada Allah Tritunggal Mahakudus, dan hidup sesuai dengan nasehat-nasehat injil-Nya.

Kamis, 21 Januari 2010

GABRIEL MARCEL (1889-1973)

GABRIEL MARCEL (1889-1973)
oleh: Lucius Tumanggor

I. PENGANTAR
Gabriel Marcel adalah seorang filosof berkebangsaan Perancis. Dia dikenal sebagai pemain drama dan komposer musik. Dalam gagasan filosofisnya, banyak orang mengatakan bahwa Gabriel Marcel adalah seorang eksistensialis dan dekat dengan kaum personalis. Mengapa Ia dikenal demikian? Karena ia menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Dalam pemahamannya, filsafat dikarakterisasi pada sebuah perasaan tragis manusia, tetapi juga sebuah pengharapan dan misteri ada. Pada tahun 1929 Ia bergabung dengan Gereja Katolik Roma. Walaupun demikian, dia bukanlah seorang Thomistik, melainkan tetap mendekatkan diri pada kaum eksistensialis dan personalis. Setelah tahun 1949, ia terang-terangan menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik dan menegaskan mengenai karakter berpikir filofisnya yang adalah terbuka dan dialogis.
Paper ini akan berbicara tentang bagaimana Gabriel Marcel menggagas filosofisnya dalam jati diri manusia itu sendiri. Kami akan membahas secara ringkas apa, dan bagaimana pemikirannya menyentuh pengalaman hidup manusia itu sendiri. Kemudian, kita akan menarik gagasannya ini dalam situasi konkret hidup yang kita lalui setiap hari dalam sebuah relevansinya. Maka setelah mengkaji suatu relevansi yang ada ini, kita menyimpulkan kajian kita ini dalam penutup paper ini. Hal inilah yang akan menghiasi jalan pikiran paper ini.

II. PEMIKIRAN FILOSOFIS GABRIEL MARCEL
Di atas kita telah mengetahui bahwa karakter berfilsafat Marcel sifatnya terbuka dan dialogis. Terbuka dan dialogis hendak mengatakan bahwa filsafat pada dasarnya adalah ilmu yang siap dan terbuka untuk didiskusikan dan didialogkan dalam kehidupan konkret demi sebuah urgensi atau keperluan ada. Marcel menolak filsafat sebagai suatu sistem. Sistematisasi mau tidak mau akan mematikan pemikiran yang hidup. Pernyataan ini menghantar kita untuk mengerti mengapa setelah tahun 1949 ia menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik? Kemungkinan besar bahwa dengan nama itu ia hendak menjadikan dirinya sebagai seorang yang senantiasa sedang mencari dan bertanya-tanya bukan untuk mensistematisasi filosofis dalam bentuk baku.
2.1. Arah Dan Metode Filosofis Marcel
Salah satu yang mengagumkan bagi kita tentang pemikiran filosofisnya adalah metode. Metode filosofis yang ditawarkan oleh Marcel adalah pengertian akan pengalaman dan pemikiran. Dalam metode ini, penulis coba memahami bahwa pengalaman dan pemikiran adalah dua realitas yang berada dalam satu identitas dalam diri Marcel sendiri. Maksudnya, ketika Marcel menyebut pengalaman, tentu ini hendak menyebut dirinya sebagai seorang dramawan atau seorang pengarang drama atau komposer musik. Demikian juga halnya saat dia menyebut pemikiran, ia hendak menyebut diri sebagai seorang filosof. Filsafat (pemikiran) dan drama/komposer musik (pengalaman) adalah dua realitas hidup yang harus didialogkan dan terbuka untuk didiskusikan demi kehidupan konkret manusia itu sendiri.
Untuk sampai pada arah dan metode filosofisnya, kita perlu mengawalinya dari sebuah pertanyaan, mengapa seorang Marcel ditampilkan seorang filsuf dan serentak juga sebagai pengarang drama/komposer musik? Pertanyaan ini menyimpan suatu makna yang tersembunyi. Dalam pemahaman penulis, drama dan filsafat bukanlah dua aktivitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang mesra dalam jiwa seseorang, dalam hal ini adalah jiwa Marcel sendiri. Di dalam diri Marcel terdapat kesatuan erat antara filsafat dan seni drama, karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memahami siapakah sebenarnya manusia. Drama sangat membantu manusia untuk mendekati keadaan hidup yang konkret.
Hubungan drama dan filsafat (hubungan pengalaman dan pemikiran) langsung menjadi jelas, bila kita melihat pernyataan Marcel sebagai berikut: Pikiran awalnya berada dalam pengalaman, dan kehadiran filsafat adalah mentransmisi pengalaman ke dalam pikiran (“ though takes its beginning in immediate experience, and Marcel declares philosophy to be experience transmuted in to thougt”). Drama (pengalaman) dapat menjadi sarana istimewa untuk menengahi pemikiran (filsafat) dalam kehidupan manusia secara konkret.
2.2. Peralihan Dari Eksistensi Manusia Menuju/Mengacu Pada Ada yang Transenden
Refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia objektif dan menuju/ mengacu pada ada yang transenden. Bagi Marcel seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen. Pertanyaan kita: apa itu eksistensi? Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan obyektivitas. Eksistensi tidak pernah dapat dijadikan obyektivitas. Eksistensi adalah pengalaman konkret “saya” sebagai subyek dalam dunia. Dengan kata lain, eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor konkret yang menandai hidup “saya”. Marcel mengatakan bahwa refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia obyektif dan menuju pada ada yang transenden. Atau kita bisa mengatakan bahwa eksistensi (“saya”) harus menuju ke Ada.
Dalam refleksi filosofis selanjutnya, peralihan itu ditandai dengan fase kekaguman, refleksi dan eksplorasi. Bagi Marcel, filsafat berawal mula dari suatu kekaguman atau keheranan yang sifatnya eksistensial dan bukan rasional apalagi ilmiah. Kita mulai merasa heran tentang kenyataan, khususnya tentang diri kita sendiri, dan lebih khusus lagi tentang inkarnasi, artinya situasi “saya” sebagai makhluk bertubuh yang terjalin dengan kosmos. Namun, dengan mengagumi saja, kita belum berfilsafat. Refleksi merupakan suatu fase hakiki dalam filsafat. Tidak pada tempatnya bila orang memertentangkan refleksi dengan kehidupan dan dengan demikian menciptakan suatu dilema. Marcel dengan tegas menolak rasionalisme, tetapi itu tidak berarti pula bahwa ia memihak anti-intelektualisme. Menurut dia, dalam refleksi kita harus membedakan dua tahap: refleksi pertama dan refleksi kedua.
Refleksi pertama mempunyai ciri sebagai berikut: abstrak, analitis, obyektif, universal, dapat diverifikasi. Refleksi ini dilangsungkan dalam ilmu pengetahuan. Tetapi filsafat tidak boleh berhenti di situ. Refleksi pertama ini berperan juga dalam filsafat, tetapi tidak sebagai titik akhir (Marcel does not deny the importance of primary reflection in science, but he refuses to accept such reflection as final or normative for all thinking).
Refleksi kedua tidak mengobyekkan tetapi berlangsung berdasarkan partisipasi atau berlangsung dalam suasana permenungan. Refleksi kedua tidak berbicara tentang obyek-obyek tetapi tentang kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pendekatan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Refleksi kedua ini berlangsung dalam konteks “persona”. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai Ada yang sebenarnya, yang tersembunyi bagi “pemikiran obyektif”.
Refleksi ketiga adalah eksplorsi. Dalam fase ini “saya” mengakui bahwa “saya” mengambil bagian pada Ada. Di sini “saya” menerima secara bebas realitas di mana “saya” berada, termasuk juga diri “saya” sendiri. Sekarang kita sudah mengerti lebih baik bagaimana Marcel berangkat dari kehidupan dan akhirnya kembali lagi pada kehidupan. Dia juga pernah berkata bahwa bagi seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen karena Marcel percaya bahwa sebuah filsafat konkret /nyata secara magnetik telah mengarah kepada kehidupan kristianitas. Bagi Marcel “Ada” adalah sebuah persetujuan esensial antara kristianitas dan manusia.
2.3. Distingsi Fundamental Antara Problematik dan Misterius
Bagi Marcel ada sebuah distingsi fundamental antara problematik dan misterius. Suatu problem adalah sesuatu yang “saya” munculkan, sebuah masalah objektif di mana “saya” tidak terlibat. Suatu misteri adalah sesuatu yang mana “saya” terlibat dan esensi ini tidak sempurna. Misteri ini bukan hanya merupakan pembatasan dalam pengetahuan.
Dalam filsafat Marcel disuguhkan dua perbedaan dalam memahami perspektif baru. Problem maksudnya masalah yang diajukan kepada “saya” dari luar. Problem mempunyai konotasi “obyektif”: “saya” sendiri tidak terlibat. Suatu problem dapat dipecahkan, hingga akhirnya sudah lenyap sebagai problem. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa problem dapat dijumpai pada taraf pemikiran logis dan matematis, pemikiran yang jelas dan pemikiran teknis. Demikian juga halnya misteri.
Marcel berpendapat bahwa misteri tidak pernah diajukan kepada “saya” secara “obyektif”. Misteri tidak berada di depan atau di luar “saya”, tetapi dalam diri “saya” atau lebih tepat lagi “saya” sendiri termasuk misteri itu. Suatu misteri melibatkan “saya” sendiri. Bertanya tentang misteri serentak juga berarti bertanya tentang diri “saya” sendiri. Misteri tidak bisa dipecahkan. Bagi Marcel, pemikiran tidak dapat menghabiskan atau melenyapkan suatu misteri. Namun misteri juga tidak sama dengan “yang tidak dapat dimengerti”. Misteri melampaui kemampuan pemikiran bukan karena kegelapannya, melainkan karena cahayanya. Beberapa contoh tentang misteri yang dikemukakan dalam pembahasan kita adalah kebebasan, roh, arti kehidupan. Menurut Marcel, misteri yang paling fundamental adalah misteri Ada.
2.4. Tentang Tubuh Sebagai “Sesuatu” yang Kita miliki atau Rasa Memiliki
Berbicara tentang tubuh, Marcel mengarahkan kita untuk sampai pada suatu refleksi. Refleksi pertama adalah kita dibimbing untuk berpikir tentang tubuh kita sebagai sesuatu yang kita miliki atau rasa memiliki. Tetapi ini tidak cukup. Marcel berpendapat bahwa saya memiliki hubungan dengan tubuhku atau ada yang berinkarnasi di dalamnya. Di sini ada sebuah elemen misteri, sesuatu yang melampaui batas. Refleksi kedua yaitu berpikir tentang diri dalam kesatuan dengan tubuh. Di sini saya diikutsertakan dalam relasi dengan tubuhku. Saya berinkarnasi dalam tubuhku. Refleksi ini menghantar saya pada batas-batas refleksi tentang subyek-obyek.
Dalam kajiannya, Marcel mengungkap tabir yang terselubung dalam hidup manusia. Di dalam hidup manusia ada dikenal istilah tubuh sebagai tubuhku. Bagaimana hal ini dipahami? Marcel mengawalinya dengan mengajukan suatu masalah mengenai kaitan antara tubuh dengan terminologi “mempunyai/memiliki” dan “Ada”. Suatu persoalan adalah “saya” mempunyai tubuhku ataukah “saya” adalah tubuhku? Kalau “saya” katakan bahwa “saya” mempunyai tubuhku, “saya” terbentur pada belbagai kesulitan. Tubuhku bagi “saya” bukan obyek. Bukan salah satu tubuh atau sembarang tubuh. Marcel menambahkan bahwa dalam tubuhku “saya” berpartisipasi dalam dunia dan dalam hubungannya dengan orang lain serta segala sesuatu. Dia memaksudkan ini supaya kita sadar akan elemen misteri dalam pengalaman kita sebagai manusia di dunia, dalam diri orang lain, sesuatu dan dalam ada.
Pernyataan tentang “saya” mempunyai tubuhku” hendak mengatakan suatu claim , suatu keperluan untuk memelihara, dan suatu penguasaan. Ada kesulitan bahwa kemungkinan kita memandang tubuh sebagai alat. Sebuah alat berada di tengah pemakai dan hal yang dikerjakan. Sangat jelas bagi kita bahwa jika kita menganggap tubuh sebagai alat, kita terjerat dalam rupa-rupa kesulitan yang tidak ada jalan keluarnya. Perlu kita pahami bahwa sejauh tubuh adalah tubuhku, tubuh tidak merupakan alat begitu saja dan tidak pula merupakan obyek yang dapat dihadapkan dengan aku sebagai subyek. Bagi Marcel, Tubuh adalah “alat absolut”. Artinya alat yang memungkinkan alat-alat tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain. Selain itu, tubuh adalah prototipe di bidang ‘mempunyai”, artinya yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh suatu yang lain.
2.5. Kesetiaan Sebagai Sentral Dalam Membangun Relasi Intersubyektif
Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif antara manusia. Kesetiaan, menurut Marcel adalah bersama dengan kehadiran orang lain. Kesetiaan bukan hanya konstansi atau berakar dalam realitas transendeen. Tetapi kesetiaan adalah lebih dari konstansi yang dipahami sebagai ketekunan dalam pencapaian tujuan. Kesetiaan melibatkan Adaku yang sekarang bagi orang lain.
Salah satu kata kunci untuk melukiskan hubungan manusia dengan sesamanya adalah kehadiran (presence). Menurut Marcel misteri Ada tidak tampak dengan cara yang semestinya, kalau tidak diselidiki dri sudut intersubyektivitas, artinya relasi antar-manusia. “Ada” selalu berarti “Ada bersama”. Istilah kehadiran (presence) bukanlah berarti berada di tempat yang sama. Kata ini tidak boleh dimengerti secara “obyektif”, dengan menerapkan kategori-kategori ruang dan waktu, tetapi lebih pada keterarahan diri yang satu bagi yang lain. Atau dapat dikatakan bahwa kehadiran itu perjumpaan “Aku” dan “Engkau”.
Marcel memahami bahwa istilah relasi “Aku” dan “Engkau” hendak menunjukkan bahwa sesama manusia tampak bagi “saya” justru sebagai sesama. Sesama hadir bagi “saya” bila ia lebih dari salah satu individu; bila “saya” sungguh-sungguh mengadakan kontak dengan dia sebagai persona. “kehadiran” ini dapat diwujudkan, biarpun dalam ruang kita saling berjauhan. Kehadiran direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Di sini Aku dan Engkau mencapai taraf “Kita”. Pada taraf Kita , Aku dan Engkau diangkat menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian. Dengan demikian timbullah kebersamaan. Kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif.
Dalam pengkajian selanjutnya, Marcel menegaskan bahwa kebersamaan ini menurut kodratnya harus berlangsung terus. Karena itu dalam pengalaman cinta terkandung juga bahwa “Aku” mengikat diri dan tetap setia (fidelity). Kesetian ini disebut sebagai “kesetiaan kreatif” (creative fidelity). Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif. Kesetiaan melibatkan adaku yang sekarang bagi orang lain. Kesetiaan melibatkan komitmen tanpa syarat dan ada yang bersedia bagi orang lain. Aksi dari kesetiaan kepada orang lain dipahami sebagai kerendahan hati. Kesetiaan adalah juga sebuah persembahan diri kita bagi orang lain. Kesetiaan dialami sebagai hati dari batas egosentrisitas kita sendiri. Demikian kesetiaan mengarahkan kita semakin beriman kepada yang absolut, Tuhan.
2.6. Kesetiaan Mengarahkan Kita Beriman Pada Batas Diri yang Absolut/ Tuhan
Marcel memberikan suatu adanya pengharapan. Dia melihat bahwa refleksi filosofis tentang kehadiran orang lain menghantar kita kepada kehadiran dari “yang lain” secara istimewa yaitu Allah. Kehadiran yang dijiwai oleh kesetiaan justru menghantar kita untuk semakin mengenal Allah. Kesetiaan adalah bagian dari iman. Dalam iman, kita akan menemukan kemungkinan dan jaminan dari kesetiaan kita. Marcel pernah mengatakan bahwa “saya” dibimbing/ dihantar pada Ada yang dari awal dan “saya” menjadi penuh sebagai manusia dalam kesatuaan dengan orang lain dan Tuhan.

III. RELEVANSI
Marcel menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Di dalam diri manusia ditemukan kehadiran yang harmonis antara Aku –Engkau. Manusia tampak bagi “saya” sebagai sesama bukan sebagai obyek dari diri “saya”. Kehadiran sesama direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Dengan cinta relasi Aku dan Engkau menjadi Kita. Kata “Kita” hendak menegaskan kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. Sebuah problem akan muncul mana kala sesama ku yang lain dijadikan sebagai obyek sasaran. Kita ambil salah satu peristiwa di Fillipina yang memilukan hati baru-baru ini, yaitu 57 orang terbantai oleh kekejaman Andal Ampatuan Jr. peristiwa ini terjadi pada tanggal 25 November 2009 yang lalu.
Pembantaian 57 Orang di Manguindanao
Sebanyak 57 orang, sebagian besar perempuan dan wartawan, dibantai di wilayah Mindanao. Menurut sumber harian Kompas bahwa para korban itu ditangkap pada saat mereka sedang melakukan perjalanan konvoi dengan isteri Mangudadatu, ketika dia akan ke kantor komisi pemilihan umum untuk mendaftarkan suaminya yang mencalonkan diri sebagai gubernur. Pihak militer mengatakan, tertuduh utama dalam aksi penculikan dan pembunuhan itu adalah orang-orang bersenjata yang disewa oleh gubernur Maguindanao, Andal Ampatuan, dan putranya yang bernama sama. Satu alasan mengapa mereka dibunuh karena kelompok politik kuat itu ingin menghentikan langkah Mangudadatu yang menantang Ampatuan junior untuk meraih jabatan gubernur dalam pemilihan umum nasional tahun depan (2010).
Sebuah misteri Ada tercabik-cabik dalam sebuah drama pembantaian dengan kedok ketakutan akan kehilangan kuasa. Kuasa memainkan peran untuk membungkam orang-orang yang tidak bersalah. Gambaran ketidak-bersalahan itu tercermin dalam diri kaum perempuan dan para wartawan yang korban pembantaian. Mereka adalah sesama yang tidak berdaya untuk melawan, sebab mereka tidak dibekali oleh senjata pengaman diri sebagaimana kaum pembunuh yang dilengakapi dengan senjata dan amunisi yang mematikan.
Kini kita melihat bahwa sebuah kebebasan, individualitas, pilihan, demikian juga sebuah tanggung jawab sesama, larut bersamaan seiring adanya pembantaian ini. Pembantaian menyisihkan ragam kecemasan dalam diri manusia yang lain. Pembantaian kini menghilangkan relasi Aku-Engkau. Pembantaian menjauhkan kebersamaan “Kita”. Pembantaian membuat kehadiran yang lain terputus dalam suasana yang menyedihkan. Pembantaian menjadikan kehadiran yang lain kini mencemaskan dan membawa duka yang mendalam bagi “Kita”. Pembantaian memporak-porandakan kebersamaan yang komunikatif yang telah terbangun dalam penuh kesetiaan. Pembantaian membuat creative fidelity menjadi berlaku surut. Dan pembantaian hanya bisa menghadirkan persoalan baru dalam relasi sesama yang tidak lagi harmonis.
Melihat peristiwa ini, kita tidak perlu pesimis bahwa segala-galanya akan berlalu, namun kita perlu memiliki suatu harapan bahwa kebenaran akan tetap tegak seiring dengan dibangunnya kembali relasi yang baik demi mewujudkan terjalinnya suatu kebersamaan.

IV. PENUTUP
Dalam paper ini diangangkat sebuah refleksi tentang pengalaman diri manusia. Pengalaman manusia sudah lebih dahulu dikembangakan oleh Marcel dalam refleksi-refleksi filosofisnya. Sangat mengagumkan bagi kita bahwa dalam diri manusia ditemukan Aku yang lain. Aku yang lain tercermin dalam relasi antara Aku-Engkau yang menghadirkan sesama sebagai persona.
Manusia sebagai persona adalah suatu misteri yang melaluinya kita bisa mengenal yang absolut, atau biasa kita sebut sebagai Tuhan. Mengenal sesama, Tuhan dengan baik tidak bisa dilepaskan dari sebuah relasi yang baik dalam sebuah kebersamaan yang komunikatif. Bila kita ingin mengedepankan kebersamaan yang komunikatif, maka kita hendaknya tetap memiliki semangat persaudaraan dalam “Kita” yang semangat dan kreatif (creative fidelity).