Sabtu, 31 Mei 2008

IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN DAVID HUME

IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN DAVID HUME

I. PENDAHULUAN

Kenyataan menunjukkan bahwa pengetahuan manusia itu tidak statis, selalu berkembang. Dan pengetahuan itu diperoleh dengan berbagai cara seperti metode menyangsikan dan pengalaman. David Hume salah seorang filsuf moderen mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman. Apa itu pengalaman? dan bagimana pengalaman itu menghasilkan pengetahuan? Paper ini mencoba menjawab dua pertanyaan di atas.
Untuk itu, kami akan membagi paper ini menjadi empat bagian. Bagian pertama sebagai pendahuluan. Pada bagian kedua tentang riwayat singkat, latar belakang pemikiran Hume. Bagian ke tiga konsep Hume tentang pengalaman. Dan bagian keempat merupakan tinjauan kritis dan penutup.

II. Riwayat Hidup dan Latar Belakang pemikiran David Hume
2.1. Riwayat Hidup David Hume
Kehidupan dari seorang filsuf empirisme ini tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang pada jamannya. David Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada tanggal 7 Mei 1711. Ia berasal dari kalangan kaum berjouis. Ayahnya seorang tuan tanah yang kaya dan meninggal ketika hume masih kecil[1]. Semasa menjadi mahasiswa di Universitas Edinburgh, ia lebih meminati studi sastra klasik dan diam-diam memepelajari filsafat. Kegemaranya ini bertentangan dengan keinginan ibunya yang menghendaki studi hukum.
Kehidupan yang ia jalani pernah menjadi pengajar di Universitas Edinburgh, sebagai sekretaris Jenderal St Clair dan menjabat sebagai pustakawan Fakultas Hukum di Edinburgh. Pernah menjadi sekretaris Earl di Paris. Kembali ke kotanya dan meninggal di sana pada tahun 1776.

2.1. Latar Belakang pemikiran David Hume
Pandangan David Hume ini tidak lepas dari Filsuf-filsuf sebelumnya. Maka, ia berusaha menggabungkan empirisme Lock dan Berkeley yang berpendapat bahwa pengetahuan didapat hanya dari persepsi panca indra.[2] Selain ituSelain itu, Hume juga mengkritisi filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.[3] Maka David Hume mengatakan tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Manusia tidak mempunyai pengetahuan. Yang dimiliki manusia hanyalah persepsi panca indra dan perasaan.


III. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
3.1. Pengalaman
Untuk memahami ide dan kesan dalam pandangan Hume, kita harus memahaminya di dalam konteks “pengalaman”. Untuk itu kita harus tahu apa itu pengalaman. Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita, ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki.[4] Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.

3.2. Hubungan Ide dan Kesan Menurut Hume
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama, kesan. Kesan adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang. Kedua gagasan. Gagasan adalah pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya.[5] Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume mau mengatakan bahwa pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti: apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu saya’ yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan, yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.[6]
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah dan ini mustahil. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.

IV. TINJAUAN KRITIS DAN PENUTUP

Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. Konsekuensi dari pandangan Hume ini adalah segalanya menjadi naif, dengan kata lain, segalanya “biarlah terjadi” (let it be).



DAFTAR PUSTAKA


Collinson, Diane, Lima Puluh Para Filsosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: Grafindo,

1998.

Fate Norton, David, The Gambridge Companion to Hume, United States of America: Press

Syndicate of the University of Cambridge, 1993.

Lavine, Thelma Z, David Hume Risalah filsafat Empirisme, Yogyakarta: Jendela, 2003.

Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafar Agama (terjm) The Problems of the

Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,

2003.

Tjahjadi S.P. Lili, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Siswanto Joko, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.


[1] F. Budi Hardiman,Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, hal.85.
[2] Bdk; S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 32-33.
[3] Ibid,.
[4] Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafat (terjm) The Problems of the Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,2003, hal. 201-202.

5Barry Stroud, Hume, London:New Fetter Lane, 1977, hal 18-19.
[6] Bdk; Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.

Tidak ada komentar: