Minggu, 20 April 2008

Sindikalisme-Anarkis Vs Persahabatan Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia

Sindikalisme-Anarkis Vs Persahabatan
Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia

Otoritas keamanan tidak ingin lagi keributan sepak bola merusak ibu kota. Karena itu, Polda Metro Jaya mencabut izin Liga final Liga Indonesia (Ligina) XIII. Izin tersebut dicabut menyusul jatuhnya korban tewas Fathul Mulyadin dalam pertandingan semifinal Rabu lalu (6/2). Fathul adalah pendukung Persija yang meninggal secara mengenaskan dan diduga akibat perkelahian antarsuporter, (Jawa Pos, sabtu 9/2, 2008, hlm.I).
Keputusan otoritas keamanan ini adalah suatu jawaban bagi mereka yang menganut sindikalisme. Sindikalisme merupakan aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Sindikalisme memakai prinsip “aksi langsung”: melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum. Sindikalisme setia pada akar-akarnya yang anarkistik. Sindikalisme menemukan pasangannya dalam anarkisme yang disamakan dengan tindak kekerasan dan pembunuhan. Tokoh yang terkenal dalam anarkisme adalah Mikhail Bakunin (1814-1876).
Kita telah menyaksikan terjadinya sindikalisme-anarkis dalam berbagai pertandingan sepak bola di tanah air kita. Pemukulan terhadap wasit secara spontan di lapangan, perkelahian antarpemain sendiri, serta perkelahian antarsuporter hingga kehilangan nyawa sebagai mana baru-baru ini adalah bukti kuat akan hal ini.
Ada kesan bahwa pentas olah raga sepak bola seperti menjadi tempat antarkelompok untuk mengadakan perang. Mengapa ada perang? Bersama Hobbes, Imanuel Kant berpendapat bahwa manusia berasal dari dunia hewan. Pada awal mula, ia hidup pada taraf yang masih rendah serta primitif, nyaris hewani. Pada waktu itu sama sekali belum terdapat suatu masyarakat yang teratur, dengan semacam kode hukum. Di situ kekuasaan lebih penting dari hukum dan kekuasaan itu dipegang oleh orang yang paling kuat. Maka tidak dapat dielakkan, di antara manusia segera timbul suatu keadaan perang dari semua lawan semua. Warga desa berkelahi dengan warga desa lain, klen dengan klen, kelompok dengan kelompok, suku dengan suku karena mereka belum mengakui orang lain sebagai sesama manusia.
Untuk mengarisbawahi kegilaan perang, Kant mengutip Hume yang menulis: “bila saya melihat dua kelompok sedang berperang, maka kesan saya seolah-olah dua orang mabuk menghantam satu sama lain dengan pentungan di dalam toko sehingga barang-barang pecah-belah dan berantakan. Bukan hanya membutuhkan waktu banyak demi kesembuhan belur mereka, tetapi mereka juga harus mengganti kerusakan yang diakibatkan ulah mereka sendiri”.
Seorang filsuf Perancis – Emmanuel Levinas – secara haru melukiskan sifat-sifat perang yang tidak manusiawi dan tidak bermoral. “perang mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan,” katanya. Dalam perang, kata-kata dan gambaran-gambaran yang tadinya menyelubungi kenyataan dihancurkan dan terbersitlah realitas menurut seluruh kepolosannya. Kedoknya tersingkap. Namun, barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peran-peran di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan menghianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Individu dan persona didorong oleh daya-daya amoral, dan sering imoral, yang menandai totalitas.
Mana kala kita mendengar, membaca akan adanya pertandingan sepak bola, pikiran kita dibayangi oleh kecemasan “apa yang akan terjadi”. Kecemasan ini menghantar kita pada pemahaman bahwa sepak bola seolah-olah menjadi seram, “pembawa mala petaka”. Nyala api yang berkobar-kobar di Stadion, rusaknya peralatan-peralatan stadion (seperti di Kediri baru-baru ini), para sporter yang masuk ke lapangan, menunjukkan “mala petaka”, minimal untuk mereka yang merasa dirugikan.
Sepak bola dalam dirinya sendiri (in se) adalah baik. Sepak bola adalah permainan yang penuh dengan seni. Ia menjadi lambang dari perjuangan manusia untuk meraih cita-cita dalam suatu tatanan yang lengkap dengan aturan/hukumnya. Dia adalah seni yang mengandung unsur-unsur keindahan, kebersamaan, sosial (socius = sahabat) bagi yang lain, semuanya saling melayani. Dalam sepak bola disatukan semua hati, perasaan, pikiran demi suatu kesuksesan atau kebahagiaan bersama.
Sangatlah aneh rasanya karena sindikalisme-anarkis merasuk di dalam pertandingan sepak bola. Permainan sepak bola dari essensinya berubah total. Dari yang baik menjadi buruk alias tidak ada lagi seninya. Sindikalisme-anarkis adalah musuh utama dari persahabatan dalam dunia persepakbolaan. Persahabatan hancur karena sindikalisme-anarkis masih merasuki pikiran manusia. Tewasnya Fathul Mulyadin karena pertikaian antarsporter adalah salah satu bentuk sindikalisme-anarkis. Namun, bagi orang yang mengerti nilai-nilai dalam sepak bola, dengan sendirinya ia akan menghindari sindikalisme-anarkis. Karena dalam pertandingan sepak bola ditemukan makna yang paling dalam yakni persahabatan.
Apa itu persahabatan? Kita dapat belajar dari seorang filosof dari dunia Islam bagian Timur yakni, Miskawaih (350 H – 421H) yang mengatakan bahwa “ persahabatan merupakan hal yang paling suci dan bermanfaaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain merupakan teman baginya, ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat. Orang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Mari kita jadikan sepak bola sebagai zona persahabatan.


Fr. Lucius T.
Mahasiswa Filsafat Widya Sasana-Malang.
Pemerhati Sepak Bola ST SW, Malang.

Tidak ada komentar: