Sabtu, 19 April 2008

WAYANG DALAM BUDAYA JAWA


WAYANG DALAM BUDAYA JAWA
(dalam perspektif (ku) sebagai orang non-Jawa)
Oleh Lucius Tumanggor

I. Pendahuluan
Kata “wayang” tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia, bahkan wayang yang diidentikkan budaya Jawa telah menjadi seni budaya nasional yang sampai kini sering menghiasi acara pentas budaya di televisi nusantara ini. Walaupun demikian, bagi budaya luar (non-Jawa) misalnya; budaya orang Batak, wayang sangatlah asing, dapat dikatakan seni pewayangan sangat tidak menarik dan kurang digemari. Namun, dalam tulisan ini penulis ingin mengenal wayang dalam budaya Jawa dan ingin mengetahui nilai apa sebenarnya yang terkandung dalam pewayangan itu sendiri sehingga mampu memengaruhi budaya Jawa (orang Jawa) secara umum?
II. Arti dan Makna
Kata “wayang” mempunyai beberapa arti. Umumnya menunjuk semacam boneka berupa manusia atau binatang; adakalanya bukan boneka melainkan hanya gambar saja dan akhirnya dapat juga berarti pertunjukan wayang dalam arti di atas. Dalam arti pertunjukan, sering yang dipertunjukkan bukan boneka atau gambar, melainkan manusia yang berpakaian seperti wayang, bertopeng atau tidak. Dalam bahasa sehari-hari, terutama sekarang ini, istilah wayang mencakup seluk-beluknya, baik boneka-bonekanya, gambar atau orangnya serta ceritanya ditambah pula dengan aneka ragam peralatannya.[1]
III. Asal-Usul Dan Sejarah
Asal-usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena memang wayang itu merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah Jawa. Para budayawan seperti Hazeu, Rasers, K.P.A. Kusumadilaga, Ranggawarsita,
Suroto, Srimulyono berpendapat bahwa wayang sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk Indonesia.[2]
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/ Kediri. Sektar abad X Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.[3]
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber.
Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurnakan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Ksatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Ketika agama Islam mulai berkembang di Jawa, para pengikutnya beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu.
IV. Jenis-Jenis Wayang
Wayang adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
A. Wayang kulit atau wayang purwa
Dalam budaya Jawa wayang ini terbuat dari kulit, menggambarkan manusia atau binatang, yang terlihat dari sisi, jadi miring. Beberapa raksasa dan kera agak kelihatan dari depan, sehingga dua matanya nampak. Isi keseluruhan cerita-ceritanya merupakan pandangan Jawa tentang dunia (Jawa) mulai dari zaman purba – itu sebabnya disebut wayang purwa – sampai raja-raja yang langsung menurunkan raja-raja Jawa.[4]
B. Wayang krucil atau klitik
Wayang ini terbuat dari kayu tetapi tangannya dari kulit; merupakan manusia tergambar miring, hanya di sana-sini terutama raksasa, ada yang agak kelihatan dari depan, matanya dua nampak. Isi ceritanya diambil dari cerita Damarwulan, yang menceritakan satria Darmawulan, yang kemudian menjadi raja di Majapahit setelah ia dapat membantu raja puteri Majapahit untuk menindas pemberontakan Menak jingga.[5]

C. Wayang gedok
Wayang ini dalam bentuk boneka. Bonekanya terbuat dari kulit, bentuknya tak seberapa berbeda dari wayang kulit. Bagi orang yang bukan ahli, ia akan sulit membedakannya dari wayang kulit. Isi cerita diambil dari cerita Panji, yaitu putera raja Jenggala dalam percintaanya terhadap Candrakirana.[6]

D. Wayang golek
Wayang ini merupakan sungguh-sungguh boneka, terbuat dari kayu. Kepalanya terlepas dari badan, bergagang, sehingga dapat digerakkan, bisa menoleh ke kiri dan ke kanan, sedangkan badanya itu berbaju dan berkain, tangannya juga dapat digerakkan. Isi ceritanya banyak yang sama dengan isi cerita wayang purwa, juga kerap kali bersumber dongeng Arab.[7]

E. Wayang beber
Wayang ini merupakan gulungan kertas bergambar, kalau dipertontonkan, gulungan itu dibuka, dibeber, - itu sebabnya bernama wayang beber. Isi ceritanya kebanyakan cerita Panji. Wayang ini sekarang hampir tidak terkenal.[8]

F. Wayang wong
Wayang ini terkenal dalam bahasa Indonesia wayang orang. Wayangnya bukan boneka atau gambar, melainkan orang, pria dan wanita yang menggambarkan wayang, terutama wayang purwa. Jadi terbalik, di sini manusia diberi pakaian dan wajah yang sedapat-dapatnya menyerupai wayang kulit. Isi ceritanya pun sama dengan wayang purwa.[9]

G. Topeng
Istilah ini agak aneh karena bukan wayang topeng. Adapun topeng artinya kedok. Topeng itu juga manusia yang berkedok, dalam kedok inilah berbeda wayang orangdengan topeng. Wajah orang yang menjadi pelaku diberi topeng dan dengan sendirinya lebih mudah disamakan dengan pelaku ceritanya. Isi cerita topeng ini kebanyakan diambil dalam cerita Panji, di sana-sini ada juga yang sama dengan cerita wayang purwa.[10]

V. Lakon
Cerita-cerita wayang merupakan kumpulan dongeng, masing-masing mengutarakan tentang dewa, manusia, raksasa dan binatang – biasanya dapat bertingkah seperti manusia. Cerita yang dapat dianggap merupakan kesatuan berisi tentang pelaku tertentu (lakon). Biasanya nama-nama yang diberikan kepada lakon amat bersangkutan dengan pelaku utama atau menunjukkan peristiwa dalam hal-ikhwal pelaku utama itu. Misalnya ada lakon yang namanya Bremana-Bremani menceritakan tentang dewa yang bernama demikian, begitu pula lakon-lakon berikut ini sudah menunjukkan isi ceritanya: lahirnya Bima, matinya Dursasana, jatuhnya negara Lokapola.[11]

VI. Nilai-Nilai Yang Terungkap[12]
Wayang dalam pandangan orang Jawa mampu mengungkapkan berbagai nilai etis. Artinya, ilmu yang mengajar manusia bagaimana hidup bijaksana. Wayang juga dipandang sebagai ilmu yang mengajar manusia bagaimana mencapai kesempurnaan hidupnya. Oleh karena itu uraian tentang nilai-niali etis dalam wayang dimulai dengan pembicaraan tentang nilai kesempurnaan. Menurut wayang, nilai “kesempurnaan sejati” adalah nilai kesempurnaan yang serba lengkap, utuh, dan tanpa cacat. Nilai-nilai kesempurnaan itu meliputi:
- kesatuan sejati,
- kebenaran sejati,
- kesucian sejati,
- keadilan sejati,
- keagungan sejati,
- kemercusuaran sejati,
- keabadian sejati,
- keteraturan Makro-kosmos sejati,
- keteraturan mikro-kosmos sejati,
- kebijaksanaan sejati,
- realita pengetahuan sejati,
- kesadaran keyakinan sejati,
- kasih sayang sejati,
- ketanggungJawaban sejati,
- kehendak, niat dan tekad sejati,
- keberanian, semangat, dan pengabdian sejati,
- kekuatan sejati,
- kekuasaan, kemandirian, dan kemerdekaan sejati,
- kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kesentosaan sejati
Dalam etika wayang nilai “kesempurnaan sejati” memegang peran amat penting: sentral dan vital. “kesempurnaan sejati” yang dimaksudkan di sini lebih pada nilai-nilai yang memiliki kadar keluhuran tinggi misalnya, Pertama; terbentuknya “manusia sempurna” baik sebagai makhluk jasmani, rohani, maupun sebagai makhluk pribadi, sosial, dan Ketuhanan, yakni manusia yang memiliki pribadi, tingkah laku, dan hidup yang sempurna , karena ia memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan ajaran-ajaran kebenaran yang “sempurna”. Kedua; terciptanya suatu kehidupan masyarakat, negara, dan dunia yang sempurna.[13]
“Kesempurnaan sejati” dapat juga dipahami sebagai tolak ukur usaha manusia untuk hidup (yakni usaha manusia untuk melangsungkan, memertahankan, dan mengembangkan hidup, dan usaha manusia untuk memergunakan hasil usaha-usaha tersebut) nilai “kesempurnaan sejati” menentukan kadar keluhuran usaha itu. Usaha yang luhur adalah usaha yang dilandasi dan dituntun oleh nilai “kesempurnaan sejati” yang ditunjukkan kepada tujuan-tujuan kesempurnaan.
Kedudukan nilai “kesempurnaan sejati” itu dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik dalam wayang selalu berusaha mencapai kesempurnaan hidup itu, sebagai dilambangkan oleh: lambang wayang gunung/kayon, lambang struktur dramatik wayang dengan patet nem, patet sanga, dan patet menyuranya; dan lambang sejarah hidup para protagonis dalam wayang seperti Arjuna sasrabahu, Rama, Kresna, dan Pandawa.[14]
Usaha mencapai kesempurnaan hidup ini menurut wayang merupakan suatu keharusan, mengingat tugas suci manusia sebagai “wakil Tuhan” di atas bumi. Dalam pandangan Wayang Yang Maha Sempurna satu-satunya adalah Tuhan. Namun sifat-sifat kesempurnaan-Nya banyak sebagaimana dilambangkan oleh dewa-dewa seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal”. Sebutan-sebutan untuk Tuhan seperti Gusti kang akarya Jagad (Tuhan Pencipta Dunia), Gusti kang murbeng dumadi (Tuhan Penguasa Kehidupan). Pekerjaan Tuhan dilambangkan oleh pekerjaan Batara Brama (Sang Pencipta), Batara Wisnu (Sang Pemelihara), dan Batara Siwa (Sang Peng-akhir/Perusak).[15]
Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan hidupnya manusia harus meniru sifat Kemahasempurnaan Tuhan itu melalui Jalan pengetahuan dengan belajar tentang sifat-sifat Kesempurnaan Tuhan; jalan Tindakan dengan memperaktekkan pengetahuan itu; Jalan Rasa/Kebaktian dengan jalan memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan percikkan sifat Kesempurnaan Tuhan seperti Arjuna (titisan Batara Indra), Karna (titisan Batara Surya), dan lain-lain.
Di samping itu manusia juga dapat mencontoh kesempurnaan para Utusan Tuhan (Kresna), para hamba Tuhan yang terpercaya dan tersayang (para orang suci), atau alam semesta (ajaran kepemimpinan Hasta Brata mencontoh sifat-sifat kepemimpinan alam semesta).
Dalam pewayangan dapat dipahami bahwa adalah amat sulit bagi manusia untuk menjadi “manusia sempurna”. Karena pada dasarnya manusia terbengkalai dengan sifat-sifat kemanusiawiannya, seperti kelemahan-kelemahan jasmani, rohani. Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan tidak akan bisa sempurna. Tokoh-tokoh pun yang dilambangkan dalam pewayangan tak ada ditemukan manusia sempurna, bahkan seperti para Pandawa, Kresna, Batara Guru juga memiliki kelemahan-kelemahan dan cacat.
Meskipun dalam wayang tidak ada tokoh yang sempurna, namun wayang mengidealkan tokoh-tokoh yang mempunyai tingkat kesempurnaan hidup yang amat tinggi, seperti raja yang ideal, ksatria yang ideal, pendeta yang ideal, rakyat yang ideal, dan lain-lain. Wayang juga mengidealkan masyarakat/negara yang ideal.
Raja yang ideal, menurut wayang adalah raja yang mendapat percikan Tuhan seperti Arjuna Sasrabahu, Rama, Kresna (titisan wisnu); mencontoh Puntadewa, selalu mengikuti tata krama, adil dan ikhlas, bersifat seperti pendeta yang tidak mempunyai musuh; mencontoh Kresna, selalu dikuti kehendaknya (Harimurti), pemurah, menjadi mercusuar bagi segala raja, berkuasa/sakti, bisa menghidupkan makhluk mati sebelum takdirnya; menjalankan dharma-dharma (kewajiban-kewajibannya dengan sempurna), karena ia ahli dalam spiritual, pengabdian, keprajuritan dan kesusilaan; memiliki watak-watak kepemimpinan yang meniru sifat-sifat keuatamaan alam (ajaran Hasta Brata, Suripto, Wahyu Makutorowo seperti: bumi: setia memberi kebutuhan-kebutuhan bagi siapa saja, sabar; seperti air: selalu turun ke bawah dan memberikan kesejukan, ketentraman; seperti angin: ada di mana saja, adil, memberikan kesejukan; seperti bulan: memberi penerangan yang sejuk, indah, memberi kebahagiaan, harapan; seperti matahari: memberi sinar keseluruh jagat raya dan memberi hidup, sumber petunjuk dan hidup; seperti gunung: kukuh, kuat; seperti api: mampu membakar dan memberi kehangatan.[16]

VII. Sumbangannya Terhadap Budaya Indonesia
Wayang sebagai wahana pendidikan watak/moral
Kita telah melihat nilai-nilai yang terungkap dalam pewayangan. Kita dapat memahami bahwa wayang tentunya bukan saja merupakan salah-satu sumber pencarian nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi wayang juga merupakan salah satu wahana atau alat pendidikan watak yang baik sekali.
Pertama, pertunjukan wayang itu sendiri merupakan alat pendidikan watak yang menawarkan metode pendidikan yang amat menarik. Karena wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilainya tidak sebagai dogmatis sebagai suatu indoktrinasi, tetapi ia menawarkan ajaran dan nilai-nilai kebaikan; terserah kepada penonton (masyarakat dan individu-individu) sendiri untuk menafsirkannya, menilai dan memilih ajaran dan nilai-nilai mana yang sesuai dengan pribadi atau hidup mereka. Selanjutnya wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu tidak secara teoretis saja (berupa ajaran dan nilai-nilai) melainkan secara konkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang konkret sebagai teladan.[17]
Wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu secara kaku atau akademis, melainkan ia di samping mengajak penonton untuk berpikir dan mencari sendiri (sebagai dilambangkan adegan wayang golek di akhir pertunjukan), ia juga mendidik penonton melalui hati/ rasanya dengan jalan adegan-adegan lucu, mengharukan atau menyentuh hati, membuat hati geram. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode pendidikan watak yang dipakai dalam pertunjukan wayang adalah metode total tetapi non-formal.
Kedua, materi pendidikan watak yang ada dalam wayang (berupa lakon-lakon, tokoh-tokoh dan ajaran serta nilai-nilainya) dapat digunakan bagi pendidikan watak dengan metode lain seperti pendidikan agama, pendidikan moral atau kita sebut pada masa lalu bidang studi PMP (pendidikan Moral Pancasila).[18] Pancasila memiliki lima sila yang adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[19] Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
VIII. Refleksi Dan Suatu Tanggapan
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa.
Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia biasa. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas.
Asas Kemanusiaan. Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Pada dasarnya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk keasadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, di mana saja dan oleh siapa pun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan banyak yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan.
Asas Persatuan. Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berpihak pada Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati.
Asas Kerakyatan/Kedaulatan rakyat. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga ia dihormati oleh para ksatria. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang berujud manusia.
Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru. Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbol rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
Asas Keadilan Sosial. Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.
IX. Kesimpulan
Kita telah melihat nilai-nilai yang terkandung dalam pewayangan, dan melaluinya manusia diarahkan untuk menjadi manusia yang sempurna. Walaupun sempurna itu hanya milik Yang Maha Kuasa yang adalah Sang Kesempurnaan Sejati itu sendiri, namun wayang tetap menganjurkan manusia untuk memiliki suatu pengharapan yang ideal melalui etika hidup (jalan-jalan kebaikan) yang tampak dalam tokoh-tokoh lakon-lakonnya. Jadi, wayang dapat dikatakan sebagai sumber nilai untuk membangun budaya bangsa kita dalam meraih cita-citanya.




Daftar Pustaka

Amir Hazim, NIlai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Djoko Damono Supardi (eds), Seni Dalam Mayarakat Indonesia Bunga Rampai, Jakarta: Gramedia, 1983.
KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996.
Mulyono Sri, Wayang Asal-Usul, filsafat dan Masa Depannya, Jakarta: Gunung Agung, 1978.
Poespowardojo Soerjanto (eds), Sekitar Manusia Bunga rampai tentang Filsafat manusia, Jakarta: Gramedia, 1985.
Suseno Magnis Frans, Wayang Dan Panggilan Manusia, Jakarta: Gramedia, 1991.
Tim Penulis Senawangi, Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Senawangi, 1994.






[1] Bdk; Supardi Djoko Damono (eds), Seni Dalam Mayarakat Indonesia Bunga Rampai, Jakarta: Gramedia, 1983, hal, 57.
[2] Bdk; Tim Penulis Senawangi, Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Senawangi, 1994, hal 29.
[3] Ibid.,
[4] Bdk; Soerjanto Poespowardojo (eds), Sekitar Manusia Bunga rampai tentang Filsafat Manusia, Jakarta: Gramedia, 1985, hal 118-119.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Bdk; Sri Mulyono, Wayang Asal-Usul, filsafat dan Masa Depannya, Jakarta: Gunung Agung, 1978, hal, 154.
[8] Ibid., hal, 150.
[9] Ibid., hal,155.
[10] Sorjanto Poespowardojo, Op Cit., hal, 119.
[11] Ibid,.
[12] Bdk; Hazim Amir, NIlai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal 97.
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hal, 99.
[16] Ibid.,
[17] Hazim Amir, Op Cit., hal, 19.
[18] Ibid.,
[19] Bdk; KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996, hal 19.

Tidak ada komentar: