IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN DAVID HUME
I. PENDAHULUAN
Kenyataan menunjukkan bahwa pengetahuan manusia itu tidak statis, selalu berkembang. Dan pengetahuan itu diperoleh dengan berbagai cara seperti metode menyangsikan dan pengalaman. David Hume salah seorang filsuf moderen mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman. Apa itu pengalaman? dan bagimana pengalaman itu menghasilkan pengetahuan? Paper ini mencoba menjawab dua pertanyaan di atas.
Untuk itu, kami akan membagi paper ini menjadi empat bagian. Bagian pertama sebagai pendahuluan. Pada bagian kedua tentang riwayat singkat, latar belakang pemikiran Hume. Bagian ke tiga konsep Hume tentang pengalaman. Dan bagian keempat merupakan tinjauan kritis dan penutup.
II. Riwayat Hidup dan Latar Belakang pemikiran David Hume
2.1. Riwayat Hidup David Hume
Kehidupan dari seorang filsuf empirisme ini tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang pada jamannya. David Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada tanggal 7 Mei 1711. Ia berasal dari kalangan kaum berjouis. Ayahnya seorang tuan tanah yang kaya dan meninggal ketika hume masih kecil[1]. Semasa menjadi mahasiswa di Universitas Edinburgh, ia lebih meminati studi sastra klasik dan diam-diam memepelajari filsafat. Kegemaranya ini bertentangan dengan keinginan ibunya yang menghendaki studi hukum.
Kehidupan yang ia jalani pernah menjadi pengajar di Universitas Edinburgh, sebagai sekretaris Jenderal St Clair dan menjabat sebagai pustakawan Fakultas Hukum di Edinburgh. Pernah menjadi sekretaris Earl di Paris. Kembali ke kotanya dan meninggal di sana pada tahun 1776.
2.1. Latar Belakang pemikiran David Hume
Pandangan David Hume ini tidak lepas dari Filsuf-filsuf sebelumnya. Maka, ia berusaha menggabungkan empirisme Lock dan Berkeley yang berpendapat bahwa pengetahuan didapat hanya dari persepsi panca indra.[2] Selain ituSelain itu, Hume juga mengkritisi filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.[3] Maka David Hume mengatakan tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Manusia tidak mempunyai pengetahuan. Yang dimiliki manusia hanyalah persepsi panca indra dan perasaan.
III. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
3.1. Pengalaman
Untuk memahami ide dan kesan dalam pandangan Hume, kita harus memahaminya di dalam konteks “pengalaman”. Untuk itu kita harus tahu apa itu pengalaman. Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita, ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki.[4] Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
3.2. Hubungan Ide dan Kesan Menurut Hume
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama, kesan. Kesan adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang. Kedua gagasan. Gagasan adalah pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya.[5] Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume mau mengatakan bahwa pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti: apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu saya’ yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan, yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.[6]
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah dan ini mustahil. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
IV. TINJAUAN KRITIS DAN PENUTUP
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. Konsekuensi dari pandangan Hume ini adalah segalanya menjadi naif, dengan kata lain, segalanya “biarlah terjadi” (let it be).
DAFTAR PUSTAKA
Collinson, Diane, Lima Puluh Para Filsosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: Grafindo,
1998.
Fate Norton, David, The Gambridge Companion to Hume, United States of America: Press
Syndicate of the University of Cambridge, 1993.
Lavine, Thelma Z, David Hume Risalah filsafat Empirisme, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafar Agama (terjm) The Problems of the
Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2003.
Tjahjadi S.P. Lili, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Siswanto Joko, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.
[1] F. Budi Hardiman,Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, hal.85.
[2] Bdk; S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 32-33.
[3] Ibid,.
[4] Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafat (terjm) The Problems of the Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,2003, hal. 201-202.
5Barry Stroud, Hume, London:New Fetter Lane, 1977, hal 18-19.
[6] Bdk; Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.
Sabtu, 31 Mei 2008
Rabu, 30 April 2008
ide dan kesan HUME
IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Lucius Tuamanggor
I. PENDAHULUAN
David Hume (1711-1776), seorang filsuf Pencerahan kelahiran Skotlandia, berpandangan bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman. Pandangan ini berseberangan dan merupakan tanggapan atas filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.
David Hume mengatakan “Tidak”. Tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat.
Ide dan kesan dalam pandangan Hume dipakai untuk menjelaskan pengalaman manusia. Setiap pengalaman bersumber dari ide dan kesan. Menjadi pertanyaan khususnya berhubungan dengan motivasi paper secara umum ke arah dualisme, apakah ide dan kesan dapat dipandang sebagai dualisme? Karena secara eksplisit Hume tidak berbicara tentang dualisme, namun demikian kami melihat bahwa ide dan kesan dalam pandangan Hume dapat dijadikan sebagai gagasan untuk memahami dualisme. Jalan pikiran kami mengalir dari maksud dari dualisme itu sendiri yang hendak mengatakan eksistensi dari dua bidang yang mandiri tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melekat dalam diri substansinya. Misalnya; jiwa dan badan. Untuk memahami manusia seutuhnya kita tidak bisa hanya melihat dari badannya saja tanpa memahami jiwa, dan demikian sebaliknya.
Demikianlah juga dalam hal ide dan kesan. Ide dan kesan dua terminologi yang membantu kita untuk memahami pengalaman manusia. Manusia yang memiliki pengalaman, dan pengalaman adalah bagian dari hidup manusia, dan di dalam pengalaman manusia terdiri dari dua unsur yaitu ide dan kesan. Pengalaman tidak bisa dipahami hanya dari ide saja dan tentunya juga dari kesan saja. Bagaimana ide dan kesan dipahami, inilah yang akan kami bahas dalam paper ini.
II. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang.
Jenis pengetahuan kedua adalah gagasan atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya. Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume Pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu dalam hidup kita. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti Apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada ‘masternya’ sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu’ saya yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah; dan ini mustahil. Kita selalu berubah. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
Hume mendasari pernyataan ini pada kepercayaan. Kepercayaan hanya bisa diperoleh dari pengetahuan langsung bersifat kuat, jernih, dan ‘mendalam’. Dia memberikan suatu analogi untuk menjelaskan pernyataannya dari mana seseorang menemukan kepercayaan. Hume mengatakan bahwa saya percaya bahwa api itu panas karena saya pernah menyentuh api dan ternyata memang panas. Saya percaya bahwa salju itu dingin karena saya pernah membaca bahwa salju itu dingin. Kedua jenis ‘percaya’ ini berbeda ‘rasanya’ bagi saya. Yang pertama (api) saya percayai panasnya secara eksistensial; seluruh ‘diri’ saya ikut merasakannya. Sedangkan yang kedua (salju) saya percayai dinginnya secara teoritis; hanya ‘akal’ saya saja yang merasakannya lewat kemampuannya melakukan asosiasi dan analogi. Dalam benak terpikir mungkin dinginnya salju sama dengan es krim atau batu es; tetapi tidak pernah saya percaya seratus persen karena tidak pernah ‘mengalami’ salju secara langsung. Karena seumur hidup belum pernah melihat salju dan menyentuhnya secara langsung, maka kepercayaan saya pada salju yang dingin tidak sekuat kepercayaan saya bahwa api itu panas.
III. TINJAUAN KRITIS
(mari kita lanjutkan bersama.....)
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. (bersambung....)
Lucius Tuamanggor
I. PENDAHULUAN
David Hume (1711-1776), seorang filsuf Pencerahan kelahiran Skotlandia, berpandangan bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman. Pandangan ini berseberangan dan merupakan tanggapan atas filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.
David Hume mengatakan “Tidak”. Tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat.
Ide dan kesan dalam pandangan Hume dipakai untuk menjelaskan pengalaman manusia. Setiap pengalaman bersumber dari ide dan kesan. Menjadi pertanyaan khususnya berhubungan dengan motivasi paper secara umum ke arah dualisme, apakah ide dan kesan dapat dipandang sebagai dualisme? Karena secara eksplisit Hume tidak berbicara tentang dualisme, namun demikian kami melihat bahwa ide dan kesan dalam pandangan Hume dapat dijadikan sebagai gagasan untuk memahami dualisme. Jalan pikiran kami mengalir dari maksud dari dualisme itu sendiri yang hendak mengatakan eksistensi dari dua bidang yang mandiri tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melekat dalam diri substansinya. Misalnya; jiwa dan badan. Untuk memahami manusia seutuhnya kita tidak bisa hanya melihat dari badannya saja tanpa memahami jiwa, dan demikian sebaliknya.
Demikianlah juga dalam hal ide dan kesan. Ide dan kesan dua terminologi yang membantu kita untuk memahami pengalaman manusia. Manusia yang memiliki pengalaman, dan pengalaman adalah bagian dari hidup manusia, dan di dalam pengalaman manusia terdiri dari dua unsur yaitu ide dan kesan. Pengalaman tidak bisa dipahami hanya dari ide saja dan tentunya juga dari kesan saja. Bagaimana ide dan kesan dipahami, inilah yang akan kami bahas dalam paper ini.
II. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang.
Jenis pengetahuan kedua adalah gagasan atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya. Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume Pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu dalam hidup kita. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti Apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada ‘masternya’ sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu’ saya yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah; dan ini mustahil. Kita selalu berubah. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
Hume mendasari pernyataan ini pada kepercayaan. Kepercayaan hanya bisa diperoleh dari pengetahuan langsung bersifat kuat, jernih, dan ‘mendalam’. Dia memberikan suatu analogi untuk menjelaskan pernyataannya dari mana seseorang menemukan kepercayaan. Hume mengatakan bahwa saya percaya bahwa api itu panas karena saya pernah menyentuh api dan ternyata memang panas. Saya percaya bahwa salju itu dingin karena saya pernah membaca bahwa salju itu dingin. Kedua jenis ‘percaya’ ini berbeda ‘rasanya’ bagi saya. Yang pertama (api) saya percayai panasnya secara eksistensial; seluruh ‘diri’ saya ikut merasakannya. Sedangkan yang kedua (salju) saya percayai dinginnya secara teoritis; hanya ‘akal’ saya saja yang merasakannya lewat kemampuannya melakukan asosiasi dan analogi. Dalam benak terpikir mungkin dinginnya salju sama dengan es krim atau batu es; tetapi tidak pernah saya percaya seratus persen karena tidak pernah ‘mengalami’ salju secara langsung. Karena seumur hidup belum pernah melihat salju dan menyentuhnya secara langsung, maka kepercayaan saya pada salju yang dingin tidak sekuat kepercayaan saya bahwa api itu panas.
III. TINJAUAN KRITIS
(mari kita lanjutkan bersama.....)
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. (bersambung....)
Minggu, 20 April 2008
Relasi Antropologi dan Karya Misis Gereja di Tanah Batak
Relasi Antara Antropologi dan
Karya Misi Gereja Di Tanah Batak
Oleh Lucius Tumanggor
I. Pendahuluan
Masyarakat Batak memiliki enam suku yang berdiam di bagian Utara pulau Sumatra. Keenam suku ini memiliki adat, bahasa dan sistem religi masing-masing. Setiap suku dapat dikatakan otonom dalam budayanya masing-masing. Namun demikian, kesatuan yang universal atas suku-suku ini dapat terjalin dalam sistem kekerabatan dalam marga. Marga sangat berperan untuk memersatukan perbedaan yang ada. Dalam Paper ini akan dibahas relasi antara antropologi dan karya misi Gereja di tanah Batak. Bagaimana gambaran budaya batak secara keseluruhan serta bagaimana Gereja memasuki nilai-nilai budaya yang telah ada, inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam paper ini.
II. Deskripsi (pemahaman akan situasi masyarakat dan Budaya Batak)
Secara antropologis, kita dapat melihat bahwa orang Batak terdiri dari enam suku. Suku itu adalah Batak toba, Simalungun, Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi. Semua suku ini memiliki sistem kelompok yang biasa disebut kekerabatan dalam marga. Marga merupakan identitas setiap pribadi yang membuatnya menjadi satu-kesatuan dalam keluarga. Baik itu keluarga dekat maupun keluarga yang jauh (dalam arti famili). Dengan marga orang dapat memposisikan dirinya dalam adat. Dalam hal ini konsekuensinya yakni setiap orang harus mengetahui dengan baik marganya.
Sebelum kekristenan masuk ke daerah Batak, setiap suku memiliki kepercayaan terhadap nenek-moyang dan yang masih eksis hingga sekarang adalah Parmalim (kepercayaan suku Batak toba). Sesudah kekristenan masuk, orang Batak mayoritas menganut agama Kristen baik itu Protestan maupun Katolik. Sedangkan agama Islam hanya berkembang bagian Selatan Tapanuli (Mandailing).
III. Pandangan Umum Antrpologis Tentang Kemanusiaan Dengan Nilai-Nilai Yang
Dimiliki
3.1. Sistem Geanologi
Salah satu sumber yang berpengaruh dalam kehidupan orang Batak adalah sistem geanologi. Sistem ini biasanya dilihat dalam perkawinan. Dari perkawinan, orang Batak menurunkan marganya sesuai dengan garis genealogis dari ayah. Geneaologi berasal dari bahasa Yunani yakni Genos (family) dan logos yaitu (ilmu/teori). Geneaologi artinya asal-usul atau daftar keturunan nenek moyang atau sejarah keluarga. Dengan marga pula orang Batak menyadari dirinya bersaudara satu sama lain.[1]
3.2. Sistem Hukum secara umum
Dalam budaya Batak maupun dalam tata peradatannya diatur dalam suatu hukum yaitu Dalihan Na Tolu[2]. Pengertian Dalihan Na Tolu secara hurufiah adalah satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Biasanya masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah Dalihan Na Tolu paopat sihal-sihal dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk menyejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal . Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Dalihan Na Tolu adalah falsafah hidup orang Batak yang menunjukkan keterikatan hubungan internal dari ketiga posisi kekerabatan orang Batak dalam bermasyarakat yakni mendoakan setiap orang agar senantiasa “Horas-Horas”: Somba marhula-hula, elek mar Boru, jala Manat mar Dongan Tubu.
Somba marhula-hula artinya senantiasa tunduk dan hormat kepada hula-hula agar horas-horas sedangkan elek mar-Boru senantiasa mengasihi agar mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan. Manat mar-Dongan Tubu artinya agar berhati-hati menjaga ikatan persaudaraan supaya terhindar dari malapetaka atau kutukan dari saudara semarga. Setiap orang Batak adalah Raja. Raja disini tidak ada kaitannya dengan kerajaan, hanya secara umum dipakai dalam acara adat dan kehidupan sehari-hari orang Batak.
Dalam ikatan Dalihan Na Tolu lazim digambarkan dengan bentuk segitiga sama sisi, masing-masing disebut juga: Rajani Hula-Hula, Raja ni Boru, dan Raja ni Dongan Tubu. Laki-laki Batak di dalam bermasyarakat pasti pernah menduduki ketiga posisi Dalihan Na Tolu ini, menjadi hula-hula, boru, atau dongan tubu tergantung pada situasi dan kondisinya saat itu.[3] Berdasarkan Dalihan Na Tolu, kekerabatan orang Batak dibagi dalam tiga bagian yaitu; Hula-Hula (kerabat marga pihak isteri), Dongan Tubu (marga kita, dari garis ayah, kakek dan anak laki), Boru (kerabat perempuan dari ayah, saudara perempuan kita beserta marga suaminya).
3.3. Sistem sosial
Yang dimaksud dalam hal ini adalah sistem yang mengatur relasi dalam masyarakat yakni; relasi antar pribadi dengan pribadi lain maupun dalam suatu marga dengan marga lain[4]. Sistem sosial dalam masyarakat Batak diatur dalam norma-norma adat dan aturan (patik/uhum). Aturan adat sangat berpengaruh untuk kehidupan moral dalam relasinya dengan sesama, dengan Tuhan. Sitem sosial terjadi di kampung dan dalam marga. Kampung merupakan tempat untuk tinggal berbagai marga dan famili. Di dalam kampung biasanya dipimpin oleh pengetua adat atau dalam istilahnya raja huta (raja kampung). Sistem sosial sangat memengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat. Seperti usia (kelahiran), jabatan, penduduk asli, dan perkawinan.[5]
Usia sangat memengaruhi kewajiban seseorang dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Usia itu terdiri dari anak-anak, anak muda (remaja), bapak-bapak/ ibu-ibu (yang sudah menikah tetapi belum tua), dan orang tua (yang sudah berumur tua). Dalam upacara adat biasanya dipimpin oleh orang tua (yang sudah berumur tua), merekalah yang biasanya pemegang keputusan dalam hal-hal adat, maupun dalam menyelesaikan masalah. Yang melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan keputusan tersebut adalah bapak-bapak muda (yang sudah menikah) dan anak muda (doli-doli). Anak-anak biasanya belum masuk dalam hitungan khususnya dalam hal peradatan.
IV. Nilai-nilai yang dimiliki orang Batak[6]
Pandangan orang Batak ada tiga sistem nilai budaya yang menjadi tujuan hidup secara turun-temurun yakni; kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Ketiga nilai ini sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari orang Batak;[7]
Pertama yakni; Hagabeon artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar.
Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur matua bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
Kedua yakni; hasangapon artinya kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan. Ketiga yakni; hamoraon artinya kaya raya. Kekayaan adalah salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak.[8]
V. Karya Misi Gereja dan Sejarahnya di Daerah Batak
Misi kekristenan pertama diawali di daerah Barus.[9] Barus, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya
sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama dikenalkan ke seluruh Nusantara.[10]
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.[11]
VI. Perjumpaan (pertemuan) Iman di daerah Batak dan kebudayaannya
Sebelum perjumpaan iman dengan orang Batak, mereka telah lebih dahulu memiliki kepercayaan kepada Mula Jadi Na Bolon yang diyakini sebagai Allah Pencipta[12] dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Pemujaan dilatarbelakangi oleh pandangan tentang ‘ugama dan ugari’. Ugama adalah hubungan manusia dengan kehidupan spiritual dan yang transenden, sedangkan ugari adalah hubungan manusia dengan kehidupan material, yang dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan adat. Tujuan penghayatan ajaran kepercayaan ugamo Batak adalah menuntun, membimbing hidup dan perikehidupan manusia di dunia dan memperoleh kehidupan abadi di akhirat yang disebut “Hangoluan ni tondi di Banua Ginjang”.[13]
Mula Jadi Nabolon memiliki tiga kuasa yaitu Hahomion (kebijaksanaan), habonaran (kesucian), dan hagogoan (kekuatan). Untuk menghormati ini diadakan upacara dengan sesajen. Melalui sesajen ini orang Batak percaya bahwa akan terjadi pertemuan antara banua atas dan banua toru (bawah). Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memperoleh keselamatan manusia maupun tanaman dan ternaknya.[14]
6.1. Sejarah Singkat Misi kekristenan
Pada tahun 1825 pertama kalinya Misionaris bekerja di Tanah Batak, yaitu Pdt. Ward dan Pdt Burton yang diutus oleh Gereja Baptis Inggris. Tahun 1829, terjadi Perang Bonjol. Tuanku Rao menyerang bangsa Batak, dan pada 1834, Pdt Samuel Munson dan Pdt Henry Lyman diutus Bandan Zending Boston, Amerika Serikat menginjili di tanah Batak. Kedua Missionaris tsb mati martir di Lobu Pining (Tapanuli Utara). Pada tahun 1861, misionaris Protestan dari Rheinische missiongesellschaft mengawali pewartaan Injil di tanah Batak khususnya di bagian Tapanuli Utara. Pada tahun 1878 Katolik masuk dan mendirikan paroki di Medan. Dari sana para misionaris meneruskan misinya ke tanah Batak.[15] Hampir 90% orang Batak menjadi orang Kristen.
Menurut para ahli, agama Kristen diterima karena orang Batak melihat “etika” berdasarkan kepercayaan lama yang terkait dengan adat tidak bertentangan dengan kehidupan sebagai pemeluk agama Kristen. Mereka berpandangan bahwa untuk memperoleh hidup yang kekal adalah dengan menganut agama Kristen, sedang dengan menata sistem masyarakat sehari-hari adalah adat.[16]
VII. Relasi Antropologi Dengan Karya Misi Gereja Secara Khusus Katolik
7.1. Dari segi antropologi
7.1.1. Religiusitasnya
Batak tradisional mengenal seorang Allah Pencipta dari semesta alam. Nama Allah nasional Batak ini adalah Mulajadi Nabolon, artinya “Allah Pemula Alam semesta.” Rumusan nama ini dikatakan Ompu Raja Mulamula, Ompu Raja Mulana; Ibana do nampuna sude na tinompana; na ro sian si so marmula, ndang binoto nang unungna; na so olo mahua, na so tumanda mara. (“Empu Raja Mulamula, empu asal-muasal; Dia yang empunya segala ciptaan miliknya; yang berasal dari yang tanpa mula, akhirnya tak dinyana; yang tak jemah tua dan tak kenal bahaya”). Singkatnya: Mulajadi Nabolon adalah khalik semesta alam; Dialah Alfa dan Omega. Tentang paham ini, Batak tidak membutuhkan tambahan pemahaman.[17]
7.1.2. Nilai-nilai yang dikejar (misi orang Batak)
Orang Batak memiliki nilai budaya yang harus dikejar dalam kehidupan sehari-harinya yakni; hagabeon, hasangapon, dan hamoraon. Pengertian ketiga ini dapat dilihat dalam penjelasan di atas tentang nilai-nilai yang dimiliki orang Batak.
7.1.3. Norma-norma atau aturan adat
Norma-norma atau aturan adat dalam kehidupan dan interaksi orang Batak tercantum dalam falsafah Dalihan Na Tolu dalam tiga subjek yaitu: hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ketiga ini disatukan dalam satu ungkapan “somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru”. Relasi dari ketiga ini tidak terpisahkan satu sama lain karena memiliki kesatuan yang kokoh sebagaimana dalam gambaran segitiga sama sisi. Untuk lebih jelasnya lihat penjelasan di atas mengenai sistem hukum seacara umum.
7.2. Dari segi karya misi Gereja
Gereja diutus untuk melaksanakan pemakluman kabar gembira keselamatan yang telah dibawa Yesus Kristus. Kerajaan Allah telah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Mrk 1. 15). Pewartaan kabar gembira mempunyai tujuan untuk memertemukan umat manusia dengan Kristus Sabda Allah yang menjadi manusia. Melalui Kristus kerajaan Allah menerobos masuk ke dalam dunia secara definitif dan tidak dapat ditarik kembali.[18]
Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Ia menjadi penebus seluruh umat manuia. Berkat Dialah kita melihat arti keselamatan yaitu diterima dengan penuh kasih oleh Allah, Abba kita, agar kita menjadi umat yang diubah sesuai dengan model Yesus Kristus. Inilah kabar Gembira bagi manusia yang harus diwartakan oleh Gereja yaitu keselamatan dalam Kristus. Keselamatan itu diwartakan kepada semua orang.[19]
VIII. Misi Gereja dalam Habatakon[20]
Kita mengetahui dengan jelas bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Mulajadi Nabolon dan Allah Tritunggal Mahakudus Kristen. Pertama adalah bahwa Allah orang Kristen adalah Allah yang Mahamurah dalam soal penebusan: Allah Bapa membiarkan Putra-Nya Yesus Kristus menjelma menjadi manusia untuk menebus dunia. Tidak ada ide penjelmaan dalam Habatakon. Tidak ada pula artikel iman bahwa Allah putra wafat dan bangkit. Ide kebangkitan sama sekali kosong dalam paham Batak, sehingga teologi penyelamatan Kristen jauh lebih kaya dari ide Allah dalam Habatakon.[21]
Karena ketiadaan ide penebusan ini, maka Batak menjadi sipelebegu, pemuja roh-roh, pemujaan Allah menjadi samar, kendati tidak pernah hilang. Kenyataan keimanan ini fatal, sebab menjerumuskan penganut agama Batak ke dalam agama begu (“roh-roh/ hantu”) dan kecemasan. Dimana-mana terdapat begu yang mengintip hidup manusia, ini dipahami karena tidak terdapat ide mengenai penebusan, pembebasan dan penyelamatan. Ide mengenai kebangkitan dan kebahagiaan surga adalah hampa.[22]
8.1. Letak relasi keduanya
Bagaimana kekristenan mencangkokkan dirinya di atas adat/aturan Batak ini? Kekristenan masuk dengan metode inkulturasi. Pertama ialah dengan melakukan prinsip bahwa keselamatan bukan lagi berasal dan berlandaskan patik/uhum atau peraturan-peraturan adat, melainkan pada cinta penebusan Allah dalam putra-Nya Yesus Kristus. Nasib manusia, di atas bumi dan akhirat samasekali tergantung kepada-Nya, yang membawa keselamatan jiawa-raga. Lewat wafat dan kebangkitan-Nya. Inilah pembebasan agung dari Yesus Kristus bahwa: Hamatean pandelean ni na so mar-Tuhan-i; hamatean parhitan lao manopot surgoi. (“ kematian putus asa bagi orang yang tak ber- Tuhan; kematianlah jembatan untuk mencapai surga”).[23]
Dengan prinsip ini terbukti bahwa Batak sipelebegu, mati digoda oleh begu numur dsb, menjadi agama ketakutan dan akhirnya agama keputusasaan (lungkas ni hosa), agama kedamaian (dame na sumurung), agama keceriaan (kabar gembira) agama pengharapan. Ai nungga talu hamatean di bahen Tuhan Jesus i, hangoluando dilean lao manopot surgo i. (maut sudah ditaklukkan oleh Tuhan yesus; dibawa-Nya kehidupan mewarisi surga). Inilah motif utama masuknya Batak menganut kekristenan.
Kedua ialah memilih titik-titik praktis inkulturasi. Terutama dalam biadang ritus penyucian, seperti pangurason, parpangiron, parpeleanon, diambil inti patinya menjadi misalnya, air kudus Katolik, pelean horbo bius ditingkatkan pada paham ekaristi, dsb. Selalu dengan “membabtis” paham Batak menjadi paham kristen, sehingga sungguh menjadi iman kristen sejati. Hal-hal yang netral, seperti gondang, tanpa kesulitan dapat diakomodasi, tentu setelah memolesnya sehingga tidak canggung bagi liturgi katolik yang anggun. Yang diinkulturasikan diambil dari segi yang serasi dan berpadanan dengan kekristenan.
Ketiga ialah pembentukan “citarasa katolik” (sensus catholicus) dalam keseluruhan corak hidup dan penghayatan di kalangan Batak. Sensus catholicus itu akan membuat saringan sendiri, mana yang tepat dan mana yang kurang tepat dalam inkulturasi. Disitulah yang akan terasa terungkap bahwa orang 100% katolik dan 100% Batak, sebab mengakar pada tradisi dan budayanya, dan sungguh menganut kekatolikan. Dalam tahapan ini, seorang akan sangat cinta iman dan Gereja-Nya, dan menganggapnya sebagai ungkapan diri yang penuh, sehingga ia tidak gampang bertukar agama. Disitu dia yakin bahwa apa yang dalam meraba-raba diupayakan kepada dan mendapat kepenuhannya dalam Gereja.[24]
IX. Refleksi Kritis dari Penulis
Refleksi ini akan diawali dari suatu pertanyan; mengapa orang Batak begitu getol dan melekat kepada adat Dalihan Na Tolu ini, seolah-olah mengingkarinya akan mendatangkan kiamat ke masyarakat? Dapat dikatakan karena adat Dalihan Na Tolu termasuk dalam artikel iman dan penentu hidup matinya eksistensinya Batak di atas bumi menurut artikel iman itu. Dalam artikel iman itu dikatakan Mulajadi Nabolon mencipta Allah Timurty, yakni Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan.
Diakui oleh hampir semua Batakologi bahwa, dengan mendasarkan Allah Trimurty, ditetapkan stelsel habatakon Dalihan Na Tolu. Ketiga pribadi yakni; Dewata Batara Guru, Soripada dan Manggala Bulan disebut “na tolu suhu, na tolu harajaon” (tiga suku dan tiga kerajaan). Di situlah diakui kehadiran dan fungsi-fungsi khas dari tiga puak, tiga kelompok, tiga tata kerajaan. Dalam Habatakon Dalihan Na Tolu, secara lebih mendasar diberlakukan pantun hangoluan, tois hamagoan (menjalankan aturan adat adalah kehidupan, mengabaikannya adalah kehilangan pegangan atau mati).[25]
9.1. Hubungan Dalihan Na Tolu dan Gereja
Apa hubungan dan manfaat dari Adat Dalihan Na Tolu dengan Gereja? Bagi seorang Batak tradisional, adat haBatakon Dalihan Na Tolu adalah sangat mendasar dan bersifat mutlak. Ia tidak dapat dianggap sebagai kebetulan atau sembarang adat yang dapat dikesampingkan begitu saja. Adat Dalihan Na Tolu, yakni Somba marhulahula, hormat mardongan tubu, jala elek marboru termasuk inti mutlak dari umpama pantun hangoluan, tois hamagoan. Karena itu, celakalah orang yang tidak mematuhi Adat Dalihan Na Tolu ini dalam melaksanakan perkawinannya, sebab akan terkutuk oleh Allah.
Misalnya yang kawin semarga harus diusir dari kampung agar kampung itu tidak binasa.
Mula jadi Na bolon yang menciptakan triade Dalihan Na Tolu memberikan harapan bagi Gereja untuk mempesiapkan hukum pernikahan bagi persyaratan perkawinan kekristenan. Menyusul persyaratan untuk pernikahan monogami. Dalam umpasa dikatakan: “si dangka ni arirang, arirang ni pulau batu; naso tupa sirng, naung ho saut di ahu; naso tupa marimbang, sai hot tondi dijabu.” (cabang mayang, mayang dari kampung pulo batu; tak jemah berpisah sekalipun kau jadi istriku; tak jemah berpoligami sebab atma tetap di rumah). Peribahasa ini bukan saja menegaskan bahwa ideal pernikahan adalah monogami, tetapi juga pernikahan yang lestari sampai mati.
Kendati dengan segala kecermatan, stelsel Dalihan Na Tolu, terutama paham triesa Dewata trimurti, yakni Batara guru, Soripada dan Mangala Bulan, dapat dijadikan “ bahan baku” untuk memahami misteri Allah Tritunggal, yakni Allah yang Esa dalam diri, Allah Tritunggal, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tetapi serentak harus ditegaskan dengan cermat: Dewata Trimurti adalah ciptaan Mulajadi Nabolon. Kekudusannya hanya lewat kepadatan sahala (numen, theion). Hubungan antara Dewata trimurti dengan Mulajadi Nabolon harus dipahami sebagai hubungan pencipta dengan ciptaan, sang Khalik dan khalikah.
9.2. Realitas Masyarakat Sekarang
Untuk sekarang ini, adat habatakon lebih dikenal oleh masyarakat Batak dan masyarakat luas lewat pernikahan. Dalam perkawinan ini orang Batak mengenal ciri Batak. Dalam perkawinan ini adat Batak Dalihan Na Tolu, yakni Hulahula, Boru dan Dongan Tubu harus dihadirkan dan difungsikan secara utuh. Memang adat Dalihan Na Tolu inilah poros dan tumpuan kehidupan adat habatakon. Jika seorang Batak tidak lagi melaksanakan adat Dalihan Na Tolu, maka itulah pertanda ia melangkah keluar dari lingkaran habatakon. Dengan kata lain, ia kehilangan jati dirinya sebagai orang Batak.
X. Penutup
Kita telah mendalami nilai-nilai budaya yang tercantum dalam habatakon dalam persfektif antopologi, dan bagaimana karya misi Gereja masuk ke dalamnya. Penulis menyimpulkan bahwa antropologi dan karya misi Gereja kiranya tidak dapat disangkal bahwa keterjalinan kedua kutub itu berjalan secara erat dan intim, sehingga sulit menarik garis lurus yang jelas kesimpulannya. Namun distingsi dapat dibuat lewat pendasaran inkulturasi sehingga keduanya tetap otonom di dalamnya.
[1] A. Goodliver manik, Evangelisasi dan Inkulturasi Dalam Konteks Masyaarakat Batak Toba, Malang; STFT Widya Sasana, 1995, hal 20.
[2] (http://www.Batakonline.com/archive/index.php/t-86.html), diakses 11 Mei 2007.
[3] Ibid,.
[4] Bungaran Anthonius Simandjuntak, Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta; Jendela, 2002, hal, 93.
[5] J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta; LkiS, 2004, hal, 132.
[6] (http://saroha.wordpress.com/tag/uncategorized), diakses 18 mei 2007.
[7] Agustinus Goodliver Manik, Opcit, hal 39-40.
[8] (http://saroha.wordpress.com/tag/uncategorized/), diakses 18 Mei 2007.
[9] Dr. Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal, 60.
[10] (http://humbahas.blogspot.com/2006/07/kota-hatorusan-barus.html), diakses 18 mei 2007.
[11] Ibid,.
[12] Dr. Anicetus B. Sinaga, Dendang Bakti Inkulturasi Teologi dalam Batak, Medan; Bina Media, 2004, hal,1.
[13] Ibid,.
[14] Drs. DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV. Armanda, 1992, hal, 54-55.
[15] Dr. Huub J.W.M. Boelaars, Opcit, hal, 80.
[16] (http://my.opera.com/raja%20batak/blog/?startidx=2), diakses 10 Mei 2007.
[17] Dr. Anicetus B. Sinaga , Ibid, hal, 21-22.
[18] KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996, hal, 382-383.
[19] KWI, Ibid, hal, 243.
[20] Habatakon adalah suatu istilah yang kerap digunakan oleh Anicetus Sinaga untuk menekankan keseluruhan nilai-nilai yang tertanam dalam adat Batak (unsur-unsur dalam adat Batak itu sendiri). Secara hurufiah , haBatakon diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia yaitu “ke-Batak-an”. Tetapi istilah kebatakan tidak begitu tepat untuk menekankan “habatakon”.
[21] Antoni Pasaribu, Menebar Kasih di Tanah Persingahan; Agama Dan HaBatakon Surabaya: (12 Mei 2007), IKKSU, hal 4.
[22] Ibid,.
[23] Ibid,.
[24] Dr. Anicettus B. Sinaga, Opcid, hal 229-232.
[25] Antoni Pasaribu, Opcit, hal, 5.
Sindikalisme-Anarkis Vs Persahabatan Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia
Sindikalisme-Anarkis Vs Persahabatan
Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia
Otoritas keamanan tidak ingin lagi keributan sepak bola merusak ibu kota. Karena itu, Polda Metro Jaya mencabut izin Liga final Liga Indonesia (Ligina) XIII. Izin tersebut dicabut menyusul jatuhnya korban tewas Fathul Mulyadin dalam pertandingan semifinal Rabu lalu (6/2). Fathul adalah pendukung Persija yang meninggal secara mengenaskan dan diduga akibat perkelahian antarsuporter, (Jawa Pos, sabtu 9/2, 2008, hlm.I).
Keputusan otoritas keamanan ini adalah suatu jawaban bagi mereka yang menganut sindikalisme. Sindikalisme merupakan aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Sindikalisme memakai prinsip “aksi langsung”: melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum. Sindikalisme setia pada akar-akarnya yang anarkistik. Sindikalisme menemukan pasangannya dalam anarkisme yang disamakan dengan tindak kekerasan dan pembunuhan. Tokoh yang terkenal dalam anarkisme adalah Mikhail Bakunin (1814-1876).
Kita telah menyaksikan terjadinya sindikalisme-anarkis dalam berbagai pertandingan sepak bola di tanah air kita. Pemukulan terhadap wasit secara spontan di lapangan, perkelahian antarpemain sendiri, serta perkelahian antarsuporter hingga kehilangan nyawa sebagai mana baru-baru ini adalah bukti kuat akan hal ini.
Ada kesan bahwa pentas olah raga sepak bola seperti menjadi tempat antarkelompok untuk mengadakan perang. Mengapa ada perang? Bersama Hobbes, Imanuel Kant berpendapat bahwa manusia berasal dari dunia hewan. Pada awal mula, ia hidup pada taraf yang masih rendah serta primitif, nyaris hewani. Pada waktu itu sama sekali belum terdapat suatu masyarakat yang teratur, dengan semacam kode hukum. Di situ kekuasaan lebih penting dari hukum dan kekuasaan itu dipegang oleh orang yang paling kuat. Maka tidak dapat dielakkan, di antara manusia segera timbul suatu keadaan perang dari semua lawan semua. Warga desa berkelahi dengan warga desa lain, klen dengan klen, kelompok dengan kelompok, suku dengan suku karena mereka belum mengakui orang lain sebagai sesama manusia.
Untuk mengarisbawahi kegilaan perang, Kant mengutip Hume yang menulis: “bila saya melihat dua kelompok sedang berperang, maka kesan saya seolah-olah dua orang mabuk menghantam satu sama lain dengan pentungan di dalam toko sehingga barang-barang pecah-belah dan berantakan. Bukan hanya membutuhkan waktu banyak demi kesembuhan belur mereka, tetapi mereka juga harus mengganti kerusakan yang diakibatkan ulah mereka sendiri”.
Seorang filsuf Perancis – Emmanuel Levinas – secara haru melukiskan sifat-sifat perang yang tidak manusiawi dan tidak bermoral. “perang mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan,” katanya. Dalam perang, kata-kata dan gambaran-gambaran yang tadinya menyelubungi kenyataan dihancurkan dan terbersitlah realitas menurut seluruh kepolosannya. Kedoknya tersingkap. Namun, barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peran-peran di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan menghianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Individu dan persona didorong oleh daya-daya amoral, dan sering imoral, yang menandai totalitas.
Mana kala kita mendengar, membaca akan adanya pertandingan sepak bola, pikiran kita dibayangi oleh kecemasan “apa yang akan terjadi”. Kecemasan ini menghantar kita pada pemahaman bahwa sepak bola seolah-olah menjadi seram, “pembawa mala petaka”. Nyala api yang berkobar-kobar di Stadion, rusaknya peralatan-peralatan stadion (seperti di Kediri baru-baru ini), para sporter yang masuk ke lapangan, menunjukkan “mala petaka”, minimal untuk mereka yang merasa dirugikan.
Sepak bola dalam dirinya sendiri (in se) adalah baik. Sepak bola adalah permainan yang penuh dengan seni. Ia menjadi lambang dari perjuangan manusia untuk meraih cita-cita dalam suatu tatanan yang lengkap dengan aturan/hukumnya. Dia adalah seni yang mengandung unsur-unsur keindahan, kebersamaan, sosial (socius = sahabat) bagi yang lain, semuanya saling melayani. Dalam sepak bola disatukan semua hati, perasaan, pikiran demi suatu kesuksesan atau kebahagiaan bersama.
Sangatlah aneh rasanya karena sindikalisme-anarkis merasuk di dalam pertandingan sepak bola. Permainan sepak bola dari essensinya berubah total. Dari yang baik menjadi buruk alias tidak ada lagi seninya. Sindikalisme-anarkis adalah musuh utama dari persahabatan dalam dunia persepakbolaan. Persahabatan hancur karena sindikalisme-anarkis masih merasuki pikiran manusia. Tewasnya Fathul Mulyadin karena pertikaian antarsporter adalah salah satu bentuk sindikalisme-anarkis. Namun, bagi orang yang mengerti nilai-nilai dalam sepak bola, dengan sendirinya ia akan menghindari sindikalisme-anarkis. Karena dalam pertandingan sepak bola ditemukan makna yang paling dalam yakni persahabatan.
Apa itu persahabatan? Kita dapat belajar dari seorang filosof dari dunia Islam bagian Timur yakni, Miskawaih (350 H – 421H) yang mengatakan bahwa “ persahabatan merupakan hal yang paling suci dan bermanfaaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain merupakan teman baginya, ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat. Orang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Mari kita jadikan sepak bola sebagai zona persahabatan.
Fr. Lucius T.
Mahasiswa Filsafat Widya Sasana-Malang.
Pemerhati Sepak Bola ST SW, Malang.
Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia
Otoritas keamanan tidak ingin lagi keributan sepak bola merusak ibu kota. Karena itu, Polda Metro Jaya mencabut izin Liga final Liga Indonesia (Ligina) XIII. Izin tersebut dicabut menyusul jatuhnya korban tewas Fathul Mulyadin dalam pertandingan semifinal Rabu lalu (6/2). Fathul adalah pendukung Persija yang meninggal secara mengenaskan dan diduga akibat perkelahian antarsuporter, (Jawa Pos, sabtu 9/2, 2008, hlm.I).
Keputusan otoritas keamanan ini adalah suatu jawaban bagi mereka yang menganut sindikalisme. Sindikalisme merupakan aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Sindikalisme memakai prinsip “aksi langsung”: melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum. Sindikalisme setia pada akar-akarnya yang anarkistik. Sindikalisme menemukan pasangannya dalam anarkisme yang disamakan dengan tindak kekerasan dan pembunuhan. Tokoh yang terkenal dalam anarkisme adalah Mikhail Bakunin (1814-1876).
Kita telah menyaksikan terjadinya sindikalisme-anarkis dalam berbagai pertandingan sepak bola di tanah air kita. Pemukulan terhadap wasit secara spontan di lapangan, perkelahian antarpemain sendiri, serta perkelahian antarsuporter hingga kehilangan nyawa sebagai mana baru-baru ini adalah bukti kuat akan hal ini.
Ada kesan bahwa pentas olah raga sepak bola seperti menjadi tempat antarkelompok untuk mengadakan perang. Mengapa ada perang? Bersama Hobbes, Imanuel Kant berpendapat bahwa manusia berasal dari dunia hewan. Pada awal mula, ia hidup pada taraf yang masih rendah serta primitif, nyaris hewani. Pada waktu itu sama sekali belum terdapat suatu masyarakat yang teratur, dengan semacam kode hukum. Di situ kekuasaan lebih penting dari hukum dan kekuasaan itu dipegang oleh orang yang paling kuat. Maka tidak dapat dielakkan, di antara manusia segera timbul suatu keadaan perang dari semua lawan semua. Warga desa berkelahi dengan warga desa lain, klen dengan klen, kelompok dengan kelompok, suku dengan suku karena mereka belum mengakui orang lain sebagai sesama manusia.
Untuk mengarisbawahi kegilaan perang, Kant mengutip Hume yang menulis: “bila saya melihat dua kelompok sedang berperang, maka kesan saya seolah-olah dua orang mabuk menghantam satu sama lain dengan pentungan di dalam toko sehingga barang-barang pecah-belah dan berantakan. Bukan hanya membutuhkan waktu banyak demi kesembuhan belur mereka, tetapi mereka juga harus mengganti kerusakan yang diakibatkan ulah mereka sendiri”.
Seorang filsuf Perancis – Emmanuel Levinas – secara haru melukiskan sifat-sifat perang yang tidak manusiawi dan tidak bermoral. “perang mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan,” katanya. Dalam perang, kata-kata dan gambaran-gambaran yang tadinya menyelubungi kenyataan dihancurkan dan terbersitlah realitas menurut seluruh kepolosannya. Kedoknya tersingkap. Namun, barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peran-peran di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan menghianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Individu dan persona didorong oleh daya-daya amoral, dan sering imoral, yang menandai totalitas.
Mana kala kita mendengar, membaca akan adanya pertandingan sepak bola, pikiran kita dibayangi oleh kecemasan “apa yang akan terjadi”. Kecemasan ini menghantar kita pada pemahaman bahwa sepak bola seolah-olah menjadi seram, “pembawa mala petaka”. Nyala api yang berkobar-kobar di Stadion, rusaknya peralatan-peralatan stadion (seperti di Kediri baru-baru ini), para sporter yang masuk ke lapangan, menunjukkan “mala petaka”, minimal untuk mereka yang merasa dirugikan.
Sepak bola dalam dirinya sendiri (in se) adalah baik. Sepak bola adalah permainan yang penuh dengan seni. Ia menjadi lambang dari perjuangan manusia untuk meraih cita-cita dalam suatu tatanan yang lengkap dengan aturan/hukumnya. Dia adalah seni yang mengandung unsur-unsur keindahan, kebersamaan, sosial (socius = sahabat) bagi yang lain, semuanya saling melayani. Dalam sepak bola disatukan semua hati, perasaan, pikiran demi suatu kesuksesan atau kebahagiaan bersama.
Sangatlah aneh rasanya karena sindikalisme-anarkis merasuk di dalam pertandingan sepak bola. Permainan sepak bola dari essensinya berubah total. Dari yang baik menjadi buruk alias tidak ada lagi seninya. Sindikalisme-anarkis adalah musuh utama dari persahabatan dalam dunia persepakbolaan. Persahabatan hancur karena sindikalisme-anarkis masih merasuki pikiran manusia. Tewasnya Fathul Mulyadin karena pertikaian antarsporter adalah salah satu bentuk sindikalisme-anarkis. Namun, bagi orang yang mengerti nilai-nilai dalam sepak bola, dengan sendirinya ia akan menghindari sindikalisme-anarkis. Karena dalam pertandingan sepak bola ditemukan makna yang paling dalam yakni persahabatan.
Apa itu persahabatan? Kita dapat belajar dari seorang filosof dari dunia Islam bagian Timur yakni, Miskawaih (350 H – 421H) yang mengatakan bahwa “ persahabatan merupakan hal yang paling suci dan bermanfaaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain merupakan teman baginya, ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat. Orang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Mari kita jadikan sepak bola sebagai zona persahabatan.
Fr. Lucius T.
Mahasiswa Filsafat Widya Sasana-Malang.
Pemerhati Sepak Bola ST SW, Malang.
Sabtu, 19 April 2008
WAYANG DALAM BUDAYA JAWA
WAYANG DALAM BUDAYA JAWA
(dalam perspektif (ku) sebagai orang non-Jawa)
Oleh Lucius Tumanggor
I. Pendahuluan
Kata “wayang” tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia, bahkan wayang yang diidentikkan budaya Jawa telah menjadi seni budaya nasional yang sampai kini sering menghiasi acara pentas budaya di televisi nusantara ini. Walaupun demikian, bagi budaya luar (non-Jawa) misalnya; budaya orang Batak, wayang sangatlah asing, dapat dikatakan seni pewayangan sangat tidak menarik dan kurang digemari. Namun, dalam tulisan ini penulis ingin mengenal wayang dalam budaya Jawa dan ingin mengetahui nilai apa sebenarnya yang terkandung dalam pewayangan itu sendiri sehingga mampu memengaruhi budaya Jawa (orang Jawa) secara umum?
II. Arti dan Makna
Kata “wayang” mempunyai beberapa arti. Umumnya menunjuk semacam boneka berupa manusia atau binatang; adakalanya bukan boneka melainkan hanya gambar saja dan akhirnya dapat juga berarti pertunjukan wayang dalam arti di atas. Dalam arti pertunjukan, sering yang dipertunjukkan bukan boneka atau gambar, melainkan manusia yang berpakaian seperti wayang, bertopeng atau tidak. Dalam bahasa sehari-hari, terutama sekarang ini, istilah wayang mencakup seluk-beluknya, baik boneka-bonekanya, gambar atau orangnya serta ceritanya ditambah pula dengan aneka ragam peralatannya.[1]
III. Asal-Usul Dan Sejarah
Asal-usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena memang wayang itu merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah Jawa. Para budayawan seperti Hazeu, Rasers, K.P.A. Kusumadilaga, Ranggawarsita,
Suroto, Srimulyono berpendapat bahwa wayang sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk Indonesia.[2]
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/ Kediri. Sektar abad X Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.[3]
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber.
Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurnakan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Ksatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Ketika agama Islam mulai berkembang di Jawa, para pengikutnya beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu.
IV. Jenis-Jenis Wayang
Wayang adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
A. Wayang kulit atau wayang purwa
Dalam budaya Jawa wayang ini terbuat dari kulit, menggambarkan manusia atau binatang, yang terlihat dari sisi, jadi miring. Beberapa raksasa dan kera agak kelihatan dari depan, sehingga dua matanya nampak. Isi keseluruhan cerita-ceritanya merupakan pandangan Jawa tentang dunia (Jawa) mulai dari zaman purba – itu sebabnya disebut wayang purwa – sampai raja-raja yang langsung menurunkan raja-raja Jawa.[4]
B. Wayang krucil atau klitik
Wayang ini terbuat dari kayu tetapi tangannya dari kulit; merupakan manusia tergambar miring, hanya di sana-sini terutama raksasa, ada yang agak kelihatan dari depan, matanya dua nampak. Isi ceritanya diambil dari cerita Damarwulan, yang menceritakan satria Darmawulan, yang kemudian menjadi raja di Majapahit setelah ia dapat membantu raja puteri Majapahit untuk menindas pemberontakan Menak jingga.[5]
C. Wayang gedok
Wayang ini dalam bentuk boneka. Bonekanya terbuat dari kulit, bentuknya tak seberapa berbeda dari wayang kulit. Bagi orang yang bukan ahli, ia akan sulit membedakannya dari wayang kulit. Isi cerita diambil dari cerita Panji, yaitu putera raja Jenggala dalam percintaanya terhadap Candrakirana.[6]
D. Wayang golek
Wayang ini merupakan sungguh-sungguh boneka, terbuat dari kayu. Kepalanya terlepas dari badan, bergagang, sehingga dapat digerakkan, bisa menoleh ke kiri dan ke kanan, sedangkan badanya itu berbaju dan berkain, tangannya juga dapat digerakkan. Isi ceritanya banyak yang sama dengan isi cerita wayang purwa, juga kerap kali bersumber dongeng Arab.[7]
E. Wayang beber
Wayang ini merupakan gulungan kertas bergambar, kalau dipertontonkan, gulungan itu dibuka, dibeber, - itu sebabnya bernama wayang beber. Isi ceritanya kebanyakan cerita Panji. Wayang ini sekarang hampir tidak terkenal.[8]
F. Wayang wong
Wayang ini terkenal dalam bahasa Indonesia wayang orang. Wayangnya bukan boneka atau gambar, melainkan orang, pria dan wanita yang menggambarkan wayang, terutama wayang purwa. Jadi terbalik, di sini manusia diberi pakaian dan wajah yang sedapat-dapatnya menyerupai wayang kulit. Isi ceritanya pun sama dengan wayang purwa.[9]
G. Topeng
Istilah ini agak aneh karena bukan wayang topeng. Adapun topeng artinya kedok. Topeng itu juga manusia yang berkedok, dalam kedok inilah berbeda wayang orangdengan topeng. Wajah orang yang menjadi pelaku diberi topeng dan dengan sendirinya lebih mudah disamakan dengan pelaku ceritanya. Isi cerita topeng ini kebanyakan diambil dalam cerita Panji, di sana-sini ada juga yang sama dengan cerita wayang purwa.[10]
V. Lakon
Cerita-cerita wayang merupakan kumpulan dongeng, masing-masing mengutarakan tentang dewa, manusia, raksasa dan binatang – biasanya dapat bertingkah seperti manusia. Cerita yang dapat dianggap merupakan kesatuan berisi tentang pelaku tertentu (lakon). Biasanya nama-nama yang diberikan kepada lakon amat bersangkutan dengan pelaku utama atau menunjukkan peristiwa dalam hal-ikhwal pelaku utama itu. Misalnya ada lakon yang namanya Bremana-Bremani menceritakan tentang dewa yang bernama demikian, begitu pula lakon-lakon berikut ini sudah menunjukkan isi ceritanya: lahirnya Bima, matinya Dursasana, jatuhnya negara Lokapola.[11]
VI. Nilai-Nilai Yang Terungkap[12]
Wayang dalam pandangan orang Jawa mampu mengungkapkan berbagai nilai etis. Artinya, ilmu yang mengajar manusia bagaimana hidup bijaksana. Wayang juga dipandang sebagai ilmu yang mengajar manusia bagaimana mencapai kesempurnaan hidupnya. Oleh karena itu uraian tentang nilai-niali etis dalam wayang dimulai dengan pembicaraan tentang nilai kesempurnaan. Menurut wayang, nilai “kesempurnaan sejati” adalah nilai kesempurnaan yang serba lengkap, utuh, dan tanpa cacat. Nilai-nilai kesempurnaan itu meliputi:
- kesatuan sejati,
- kebenaran sejati,
- kesucian sejati,
- keadilan sejati,
- keagungan sejati,
- kemercusuaran sejati,
- keabadian sejati,
- keteraturan Makro-kosmos sejati,
- keteraturan mikro-kosmos sejati,
- kebijaksanaan sejati,
- realita pengetahuan sejati,
- kesadaran keyakinan sejati,
- kasih sayang sejati,
- ketanggungJawaban sejati,
- kehendak, niat dan tekad sejati,
- keberanian, semangat, dan pengabdian sejati,
- kekuatan sejati,
- kekuasaan, kemandirian, dan kemerdekaan sejati,
- kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kesentosaan sejati
Dalam etika wayang nilai “kesempurnaan sejati” memegang peran amat penting: sentral dan vital. “kesempurnaan sejati” yang dimaksudkan di sini lebih pada nilai-nilai yang memiliki kadar keluhuran tinggi misalnya, Pertama; terbentuknya “manusia sempurna” baik sebagai makhluk jasmani, rohani, maupun sebagai makhluk pribadi, sosial, dan Ketuhanan, yakni manusia yang memiliki pribadi, tingkah laku, dan hidup yang sempurna , karena ia memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan ajaran-ajaran kebenaran yang “sempurna”. Kedua; terciptanya suatu kehidupan masyarakat, negara, dan dunia yang sempurna.[13]
“Kesempurnaan sejati” dapat juga dipahami sebagai tolak ukur usaha manusia untuk hidup (yakni usaha manusia untuk melangsungkan, memertahankan, dan mengembangkan hidup, dan usaha manusia untuk memergunakan hasil usaha-usaha tersebut) nilai “kesempurnaan sejati” menentukan kadar keluhuran usaha itu. Usaha yang luhur adalah usaha yang dilandasi dan dituntun oleh nilai “kesempurnaan sejati” yang ditunjukkan kepada tujuan-tujuan kesempurnaan.
Kedudukan nilai “kesempurnaan sejati” itu dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik dalam wayang selalu berusaha mencapai kesempurnaan hidup itu, sebagai dilambangkan oleh: lambang wayang gunung/kayon, lambang struktur dramatik wayang dengan patet nem, patet sanga, dan patet menyuranya; dan lambang sejarah hidup para protagonis dalam wayang seperti Arjuna sasrabahu, Rama, Kresna, dan Pandawa.[14]
Usaha mencapai kesempurnaan hidup ini menurut wayang merupakan suatu keharusan, mengingat tugas suci manusia sebagai “wakil Tuhan” di atas bumi. Dalam pandangan Wayang Yang Maha Sempurna satu-satunya adalah Tuhan. Namun sifat-sifat kesempurnaan-Nya banyak sebagaimana dilambangkan oleh dewa-dewa seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal”. Sebutan-sebutan untuk Tuhan seperti Gusti kang akarya Jagad (Tuhan Pencipta Dunia), Gusti kang murbeng dumadi (Tuhan Penguasa Kehidupan). Pekerjaan Tuhan dilambangkan oleh pekerjaan Batara Brama (Sang Pencipta), Batara Wisnu (Sang Pemelihara), dan Batara Siwa (Sang Peng-akhir/Perusak).[15]
Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan hidupnya manusia harus meniru sifat Kemahasempurnaan Tuhan itu melalui Jalan pengetahuan dengan belajar tentang sifat-sifat Kesempurnaan Tuhan; jalan Tindakan dengan memperaktekkan pengetahuan itu; Jalan Rasa/Kebaktian dengan jalan memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan percikkan sifat Kesempurnaan Tuhan seperti Arjuna (titisan Batara Indra), Karna (titisan Batara Surya), dan lain-lain.
Di samping itu manusia juga dapat mencontoh kesempurnaan para Utusan Tuhan (Kresna), para hamba Tuhan yang terpercaya dan tersayang (para orang suci), atau alam semesta (ajaran kepemimpinan Hasta Brata mencontoh sifat-sifat kepemimpinan alam semesta).
Dalam pewayangan dapat dipahami bahwa adalah amat sulit bagi manusia untuk menjadi “manusia sempurna”. Karena pada dasarnya manusia terbengkalai dengan sifat-sifat kemanusiawiannya, seperti kelemahan-kelemahan jasmani, rohani. Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan tidak akan bisa sempurna. Tokoh-tokoh pun yang dilambangkan dalam pewayangan tak ada ditemukan manusia sempurna, bahkan seperti para Pandawa, Kresna, Batara Guru juga memiliki kelemahan-kelemahan dan cacat.
Meskipun dalam wayang tidak ada tokoh yang sempurna, namun wayang mengidealkan tokoh-tokoh yang mempunyai tingkat kesempurnaan hidup yang amat tinggi, seperti raja yang ideal, ksatria yang ideal, pendeta yang ideal, rakyat yang ideal, dan lain-lain. Wayang juga mengidealkan masyarakat/negara yang ideal.
Raja yang ideal, menurut wayang adalah raja yang mendapat percikan Tuhan seperti Arjuna Sasrabahu, Rama, Kresna (titisan wisnu); mencontoh Puntadewa, selalu mengikuti tata krama, adil dan ikhlas, bersifat seperti pendeta yang tidak mempunyai musuh; mencontoh Kresna, selalu dikuti kehendaknya (Harimurti), pemurah, menjadi mercusuar bagi segala raja, berkuasa/sakti, bisa menghidupkan makhluk mati sebelum takdirnya; menjalankan dharma-dharma (kewajiban-kewajibannya dengan sempurna), karena ia ahli dalam spiritual, pengabdian, keprajuritan dan kesusilaan; memiliki watak-watak kepemimpinan yang meniru sifat-sifat keuatamaan alam (ajaran Hasta Brata, Suripto, Wahyu Makutorowo seperti: bumi: setia memberi kebutuhan-kebutuhan bagi siapa saja, sabar; seperti air: selalu turun ke bawah dan memberikan kesejukan, ketentraman; seperti angin: ada di mana saja, adil, memberikan kesejukan; seperti bulan: memberi penerangan yang sejuk, indah, memberi kebahagiaan, harapan; seperti matahari: memberi sinar keseluruh jagat raya dan memberi hidup, sumber petunjuk dan hidup; seperti gunung: kukuh, kuat; seperti api: mampu membakar dan memberi kehangatan.[16]
VII. Sumbangannya Terhadap Budaya Indonesia
Wayang sebagai wahana pendidikan watak/moral
Kita telah melihat nilai-nilai yang terungkap dalam pewayangan. Kita dapat memahami bahwa wayang tentunya bukan saja merupakan salah-satu sumber pencarian nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi wayang juga merupakan salah satu wahana atau alat pendidikan watak yang baik sekali.
Pertama, pertunjukan wayang itu sendiri merupakan alat pendidikan watak yang menawarkan metode pendidikan yang amat menarik. Karena wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilainya tidak sebagai dogmatis sebagai suatu indoktrinasi, tetapi ia menawarkan ajaran dan nilai-nilai kebaikan; terserah kepada penonton (masyarakat dan individu-individu) sendiri untuk menafsirkannya, menilai dan memilih ajaran dan nilai-nilai mana yang sesuai dengan pribadi atau hidup mereka. Selanjutnya wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu tidak secara teoretis saja (berupa ajaran dan nilai-nilai) melainkan secara konkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang konkret sebagai teladan.[17]
Wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu secara kaku atau akademis, melainkan ia di samping mengajak penonton untuk berpikir dan mencari sendiri (sebagai dilambangkan adegan wayang golek di akhir pertunjukan), ia juga mendidik penonton melalui hati/ rasanya dengan jalan adegan-adegan lucu, mengharukan atau menyentuh hati, membuat hati geram. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode pendidikan watak yang dipakai dalam pertunjukan wayang adalah metode total tetapi non-formal.
Kedua, materi pendidikan watak yang ada dalam wayang (berupa lakon-lakon, tokoh-tokoh dan ajaran serta nilai-nilainya) dapat digunakan bagi pendidikan watak dengan metode lain seperti pendidikan agama, pendidikan moral atau kita sebut pada masa lalu bidang studi PMP (pendidikan Moral Pancasila).[18] Pancasila memiliki lima sila yang adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[19] Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
VIII. Refleksi Dan Suatu Tanggapan
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa.
Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia biasa. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas.
Asas Kemanusiaan. Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Pada dasarnya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk keasadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, di mana saja dan oleh siapa pun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan banyak yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan.
Asas Persatuan. Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berpihak pada Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati.
Asas Kerakyatan/Kedaulatan rakyat. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga ia dihormati oleh para ksatria. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang berujud manusia.
Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru. Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbol rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
Asas Keadilan Sosial. Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.
IX. Kesimpulan
Kita telah melihat nilai-nilai yang terkandung dalam pewayangan, dan melaluinya manusia diarahkan untuk menjadi manusia yang sempurna. Walaupun sempurna itu hanya milik Yang Maha Kuasa yang adalah Sang Kesempurnaan Sejati itu sendiri, namun wayang tetap menganjurkan manusia untuk memiliki suatu pengharapan yang ideal melalui etika hidup (jalan-jalan kebaikan) yang tampak dalam tokoh-tokoh lakon-lakonnya. Jadi, wayang dapat dikatakan sebagai sumber nilai untuk membangun budaya bangsa kita dalam meraih cita-citanya.
Daftar Pustaka
Amir Hazim, NIlai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Djoko Damono Supardi (eds), Seni Dalam Mayarakat Indonesia Bunga Rampai, Jakarta: Gramedia, 1983.
KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996.
Mulyono Sri, Wayang Asal-Usul, filsafat dan Masa Depannya, Jakarta: Gunung Agung, 1978.
Poespowardojo Soerjanto (eds), Sekitar Manusia Bunga rampai tentang Filsafat manusia, Jakarta: Gramedia, 1985.
Suseno Magnis Frans, Wayang Dan Panggilan Manusia, Jakarta: Gramedia, 1991.
Tim Penulis Senawangi, Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Senawangi, 1994.
[1] Bdk; Supardi Djoko Damono (eds), Seni Dalam Mayarakat Indonesia Bunga Rampai, Jakarta: Gramedia, 1983, hal, 57.
[2] Bdk; Tim Penulis Senawangi, Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Senawangi, 1994, hal 29.
[3] Ibid.,
[4] Bdk; Soerjanto Poespowardojo (eds), Sekitar Manusia Bunga rampai tentang Filsafat Manusia, Jakarta: Gramedia, 1985, hal 118-119.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Bdk; Sri Mulyono, Wayang Asal-Usul, filsafat dan Masa Depannya, Jakarta: Gunung Agung, 1978, hal, 154.
[8] Ibid., hal, 150.
[9] Ibid., hal,155.
[10] Sorjanto Poespowardojo, Op Cit., hal, 119.
[11] Ibid,.
[12] Bdk; Hazim Amir, NIlai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal 97.
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hal, 99.
[16] Ibid.,
[17] Hazim Amir, Op Cit., hal, 19.
[18] Ibid.,
[19] Bdk; KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996, hal 19.
Oleh Lucius Tumanggor
I. Pendahuluan
Kata “wayang” tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia, bahkan wayang yang diidentikkan budaya Jawa telah menjadi seni budaya nasional yang sampai kini sering menghiasi acara pentas budaya di televisi nusantara ini. Walaupun demikian, bagi budaya luar (non-Jawa) misalnya; budaya orang Batak, wayang sangatlah asing, dapat dikatakan seni pewayangan sangat tidak menarik dan kurang digemari. Namun, dalam tulisan ini penulis ingin mengenal wayang dalam budaya Jawa dan ingin mengetahui nilai apa sebenarnya yang terkandung dalam pewayangan itu sendiri sehingga mampu memengaruhi budaya Jawa (orang Jawa) secara umum?
II. Arti dan Makna
Kata “wayang” mempunyai beberapa arti. Umumnya menunjuk semacam boneka berupa manusia atau binatang; adakalanya bukan boneka melainkan hanya gambar saja dan akhirnya dapat juga berarti pertunjukan wayang dalam arti di atas. Dalam arti pertunjukan, sering yang dipertunjukkan bukan boneka atau gambar, melainkan manusia yang berpakaian seperti wayang, bertopeng atau tidak. Dalam bahasa sehari-hari, terutama sekarang ini, istilah wayang mencakup seluk-beluknya, baik boneka-bonekanya, gambar atau orangnya serta ceritanya ditambah pula dengan aneka ragam peralatannya.[1]
III. Asal-Usul Dan Sejarah
Asal-usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang, karena memang wayang itu merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah Jawa. Para budayawan seperti Hazeu, Rasers, K.P.A. Kusumadilaga, Ranggawarsita,
Suroto, Srimulyono berpendapat bahwa wayang sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk Indonesia.[2]
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/ Kediri. Sektar abad X Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.[3]
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber.
Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurnakan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Ksatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Ketika agama Islam mulai berkembang di Jawa, para pengikutnya beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu.
IV. Jenis-Jenis Wayang
Wayang adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
A. Wayang kulit atau wayang purwa
Dalam budaya Jawa wayang ini terbuat dari kulit, menggambarkan manusia atau binatang, yang terlihat dari sisi, jadi miring. Beberapa raksasa dan kera agak kelihatan dari depan, sehingga dua matanya nampak. Isi keseluruhan cerita-ceritanya merupakan pandangan Jawa tentang dunia (Jawa) mulai dari zaman purba – itu sebabnya disebut wayang purwa – sampai raja-raja yang langsung menurunkan raja-raja Jawa.[4]
B. Wayang krucil atau klitik
Wayang ini terbuat dari kayu tetapi tangannya dari kulit; merupakan manusia tergambar miring, hanya di sana-sini terutama raksasa, ada yang agak kelihatan dari depan, matanya dua nampak. Isi ceritanya diambil dari cerita Damarwulan, yang menceritakan satria Darmawulan, yang kemudian menjadi raja di Majapahit setelah ia dapat membantu raja puteri Majapahit untuk menindas pemberontakan Menak jingga.[5]
C. Wayang gedok
Wayang ini dalam bentuk boneka. Bonekanya terbuat dari kulit, bentuknya tak seberapa berbeda dari wayang kulit. Bagi orang yang bukan ahli, ia akan sulit membedakannya dari wayang kulit. Isi cerita diambil dari cerita Panji, yaitu putera raja Jenggala dalam percintaanya terhadap Candrakirana.[6]
D. Wayang golek
Wayang ini merupakan sungguh-sungguh boneka, terbuat dari kayu. Kepalanya terlepas dari badan, bergagang, sehingga dapat digerakkan, bisa menoleh ke kiri dan ke kanan, sedangkan badanya itu berbaju dan berkain, tangannya juga dapat digerakkan. Isi ceritanya banyak yang sama dengan isi cerita wayang purwa, juga kerap kali bersumber dongeng Arab.[7]
E. Wayang beber
Wayang ini merupakan gulungan kertas bergambar, kalau dipertontonkan, gulungan itu dibuka, dibeber, - itu sebabnya bernama wayang beber. Isi ceritanya kebanyakan cerita Panji. Wayang ini sekarang hampir tidak terkenal.[8]
F. Wayang wong
Wayang ini terkenal dalam bahasa Indonesia wayang orang. Wayangnya bukan boneka atau gambar, melainkan orang, pria dan wanita yang menggambarkan wayang, terutama wayang purwa. Jadi terbalik, di sini manusia diberi pakaian dan wajah yang sedapat-dapatnya menyerupai wayang kulit. Isi ceritanya pun sama dengan wayang purwa.[9]
G. Topeng
Istilah ini agak aneh karena bukan wayang topeng. Adapun topeng artinya kedok. Topeng itu juga manusia yang berkedok, dalam kedok inilah berbeda wayang orangdengan topeng. Wajah orang yang menjadi pelaku diberi topeng dan dengan sendirinya lebih mudah disamakan dengan pelaku ceritanya. Isi cerita topeng ini kebanyakan diambil dalam cerita Panji, di sana-sini ada juga yang sama dengan cerita wayang purwa.[10]
V. Lakon
Cerita-cerita wayang merupakan kumpulan dongeng, masing-masing mengutarakan tentang dewa, manusia, raksasa dan binatang – biasanya dapat bertingkah seperti manusia. Cerita yang dapat dianggap merupakan kesatuan berisi tentang pelaku tertentu (lakon). Biasanya nama-nama yang diberikan kepada lakon amat bersangkutan dengan pelaku utama atau menunjukkan peristiwa dalam hal-ikhwal pelaku utama itu. Misalnya ada lakon yang namanya Bremana-Bremani menceritakan tentang dewa yang bernama demikian, begitu pula lakon-lakon berikut ini sudah menunjukkan isi ceritanya: lahirnya Bima, matinya Dursasana, jatuhnya negara Lokapola.[11]
VI. Nilai-Nilai Yang Terungkap[12]
Wayang dalam pandangan orang Jawa mampu mengungkapkan berbagai nilai etis. Artinya, ilmu yang mengajar manusia bagaimana hidup bijaksana. Wayang juga dipandang sebagai ilmu yang mengajar manusia bagaimana mencapai kesempurnaan hidupnya. Oleh karena itu uraian tentang nilai-niali etis dalam wayang dimulai dengan pembicaraan tentang nilai kesempurnaan. Menurut wayang, nilai “kesempurnaan sejati” adalah nilai kesempurnaan yang serba lengkap, utuh, dan tanpa cacat. Nilai-nilai kesempurnaan itu meliputi:
- kesatuan sejati,
- kebenaran sejati,
- kesucian sejati,
- keadilan sejati,
- keagungan sejati,
- kemercusuaran sejati,
- keabadian sejati,
- keteraturan Makro-kosmos sejati,
- keteraturan mikro-kosmos sejati,
- kebijaksanaan sejati,
- realita pengetahuan sejati,
- kesadaran keyakinan sejati,
- kasih sayang sejati,
- ketanggungJawaban sejati,
- kehendak, niat dan tekad sejati,
- keberanian, semangat, dan pengabdian sejati,
- kekuatan sejati,
- kekuasaan, kemandirian, dan kemerdekaan sejati,
- kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kesentosaan sejati
Dalam etika wayang nilai “kesempurnaan sejati” memegang peran amat penting: sentral dan vital. “kesempurnaan sejati” yang dimaksudkan di sini lebih pada nilai-nilai yang memiliki kadar keluhuran tinggi misalnya, Pertama; terbentuknya “manusia sempurna” baik sebagai makhluk jasmani, rohani, maupun sebagai makhluk pribadi, sosial, dan Ketuhanan, yakni manusia yang memiliki pribadi, tingkah laku, dan hidup yang sempurna , karena ia memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan ajaran-ajaran kebenaran yang “sempurna”. Kedua; terciptanya suatu kehidupan masyarakat, negara, dan dunia yang sempurna.[13]
“Kesempurnaan sejati” dapat juga dipahami sebagai tolak ukur usaha manusia untuk hidup (yakni usaha manusia untuk melangsungkan, memertahankan, dan mengembangkan hidup, dan usaha manusia untuk memergunakan hasil usaha-usaha tersebut) nilai “kesempurnaan sejati” menentukan kadar keluhuran usaha itu. Usaha yang luhur adalah usaha yang dilandasi dan dituntun oleh nilai “kesempurnaan sejati” yang ditunjukkan kepada tujuan-tujuan kesempurnaan.
Kedudukan nilai “kesempurnaan sejati” itu dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua ksatria yang baik dalam wayang selalu berusaha mencapai kesempurnaan hidup itu, sebagai dilambangkan oleh: lambang wayang gunung/kayon, lambang struktur dramatik wayang dengan patet nem, patet sanga, dan patet menyuranya; dan lambang sejarah hidup para protagonis dalam wayang seperti Arjuna sasrabahu, Rama, Kresna, dan Pandawa.[14]
Usaha mencapai kesempurnaan hidup ini menurut wayang merupakan suatu keharusan, mengingat tugas suci manusia sebagai “wakil Tuhan” di atas bumi. Dalam pandangan Wayang Yang Maha Sempurna satu-satunya adalah Tuhan. Namun sifat-sifat kesempurnaan-Nya banyak sebagaimana dilambangkan oleh dewa-dewa seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal”. Sebutan-sebutan untuk Tuhan seperti Gusti kang akarya Jagad (Tuhan Pencipta Dunia), Gusti kang murbeng dumadi (Tuhan Penguasa Kehidupan). Pekerjaan Tuhan dilambangkan oleh pekerjaan Batara Brama (Sang Pencipta), Batara Wisnu (Sang Pemelihara), dan Batara Siwa (Sang Peng-akhir/Perusak).[15]
Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan hidupnya manusia harus meniru sifat Kemahasempurnaan Tuhan itu melalui Jalan pengetahuan dengan belajar tentang sifat-sifat Kesempurnaan Tuhan; jalan Tindakan dengan memperaktekkan pengetahuan itu; Jalan Rasa/Kebaktian dengan jalan memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan percikkan sifat Kesempurnaan Tuhan seperti Arjuna (titisan Batara Indra), Karna (titisan Batara Surya), dan lain-lain.
Di samping itu manusia juga dapat mencontoh kesempurnaan para Utusan Tuhan (Kresna), para hamba Tuhan yang terpercaya dan tersayang (para orang suci), atau alam semesta (ajaran kepemimpinan Hasta Brata mencontoh sifat-sifat kepemimpinan alam semesta).
Dalam pewayangan dapat dipahami bahwa adalah amat sulit bagi manusia untuk menjadi “manusia sempurna”. Karena pada dasarnya manusia terbengkalai dengan sifat-sifat kemanusiawiannya, seperti kelemahan-kelemahan jasmani, rohani. Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan tidak akan bisa sempurna. Tokoh-tokoh pun yang dilambangkan dalam pewayangan tak ada ditemukan manusia sempurna, bahkan seperti para Pandawa, Kresna, Batara Guru juga memiliki kelemahan-kelemahan dan cacat.
Meskipun dalam wayang tidak ada tokoh yang sempurna, namun wayang mengidealkan tokoh-tokoh yang mempunyai tingkat kesempurnaan hidup yang amat tinggi, seperti raja yang ideal, ksatria yang ideal, pendeta yang ideal, rakyat yang ideal, dan lain-lain. Wayang juga mengidealkan masyarakat/negara yang ideal.
Raja yang ideal, menurut wayang adalah raja yang mendapat percikan Tuhan seperti Arjuna Sasrabahu, Rama, Kresna (titisan wisnu); mencontoh Puntadewa, selalu mengikuti tata krama, adil dan ikhlas, bersifat seperti pendeta yang tidak mempunyai musuh; mencontoh Kresna, selalu dikuti kehendaknya (Harimurti), pemurah, menjadi mercusuar bagi segala raja, berkuasa/sakti, bisa menghidupkan makhluk mati sebelum takdirnya; menjalankan dharma-dharma (kewajiban-kewajibannya dengan sempurna), karena ia ahli dalam spiritual, pengabdian, keprajuritan dan kesusilaan; memiliki watak-watak kepemimpinan yang meniru sifat-sifat keuatamaan alam (ajaran Hasta Brata, Suripto, Wahyu Makutorowo seperti: bumi: setia memberi kebutuhan-kebutuhan bagi siapa saja, sabar; seperti air: selalu turun ke bawah dan memberikan kesejukan, ketentraman; seperti angin: ada di mana saja, adil, memberikan kesejukan; seperti bulan: memberi penerangan yang sejuk, indah, memberi kebahagiaan, harapan; seperti matahari: memberi sinar keseluruh jagat raya dan memberi hidup, sumber petunjuk dan hidup; seperti gunung: kukuh, kuat; seperti api: mampu membakar dan memberi kehangatan.[16]
VII. Sumbangannya Terhadap Budaya Indonesia
Wayang sebagai wahana pendidikan watak/moral
Kita telah melihat nilai-nilai yang terungkap dalam pewayangan. Kita dapat memahami bahwa wayang tentunya bukan saja merupakan salah-satu sumber pencarian nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi wayang juga merupakan salah satu wahana atau alat pendidikan watak yang baik sekali.
Pertama, pertunjukan wayang itu sendiri merupakan alat pendidikan watak yang menawarkan metode pendidikan yang amat menarik. Karena wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilainya tidak sebagai dogmatis sebagai suatu indoktrinasi, tetapi ia menawarkan ajaran dan nilai-nilai kebaikan; terserah kepada penonton (masyarakat dan individu-individu) sendiri untuk menafsirkannya, menilai dan memilih ajaran dan nilai-nilai mana yang sesuai dengan pribadi atau hidup mereka. Selanjutnya wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu tidak secara teoretis saja (berupa ajaran dan nilai-nilai) melainkan secara konkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang konkret sebagai teladan.[17]
Wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nilai-nilai itu secara kaku atau akademis, melainkan ia di samping mengajak penonton untuk berpikir dan mencari sendiri (sebagai dilambangkan adegan wayang golek di akhir pertunjukan), ia juga mendidik penonton melalui hati/ rasanya dengan jalan adegan-adegan lucu, mengharukan atau menyentuh hati, membuat hati geram. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode pendidikan watak yang dipakai dalam pertunjukan wayang adalah metode total tetapi non-formal.
Kedua, materi pendidikan watak yang ada dalam wayang (berupa lakon-lakon, tokoh-tokoh dan ajaran serta nilai-nilainya) dapat digunakan bagi pendidikan watak dengan metode lain seperti pendidikan agama, pendidikan moral atau kita sebut pada masa lalu bidang studi PMP (pendidikan Moral Pancasila).[18] Pancasila memiliki lima sila yang adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[19] Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
VIII. Refleksi Dan Suatu Tanggapan
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa.
Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia biasa. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas.
Asas Kemanusiaan. Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Pada dasarnya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk keasadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, di mana saja dan oleh siapa pun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan banyak yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan.
Asas Persatuan. Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berpihak pada Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati.
Asas Kerakyatan/Kedaulatan rakyat. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga ia dihormati oleh para ksatria. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang berujud manusia.
Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru. Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbol rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
Asas Keadilan Sosial. Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.
IX. Kesimpulan
Kita telah melihat nilai-nilai yang terkandung dalam pewayangan, dan melaluinya manusia diarahkan untuk menjadi manusia yang sempurna. Walaupun sempurna itu hanya milik Yang Maha Kuasa yang adalah Sang Kesempurnaan Sejati itu sendiri, namun wayang tetap menganjurkan manusia untuk memiliki suatu pengharapan yang ideal melalui etika hidup (jalan-jalan kebaikan) yang tampak dalam tokoh-tokoh lakon-lakonnya. Jadi, wayang dapat dikatakan sebagai sumber nilai untuk membangun budaya bangsa kita dalam meraih cita-citanya.
Daftar Pustaka
Amir Hazim, NIlai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Djoko Damono Supardi (eds), Seni Dalam Mayarakat Indonesia Bunga Rampai, Jakarta: Gramedia, 1983.
KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996.
Mulyono Sri, Wayang Asal-Usul, filsafat dan Masa Depannya, Jakarta: Gunung Agung, 1978.
Poespowardojo Soerjanto (eds), Sekitar Manusia Bunga rampai tentang Filsafat manusia, Jakarta: Gramedia, 1985.
Suseno Magnis Frans, Wayang Dan Panggilan Manusia, Jakarta: Gramedia, 1991.
Tim Penulis Senawangi, Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Senawangi, 1994.
[1] Bdk; Supardi Djoko Damono (eds), Seni Dalam Mayarakat Indonesia Bunga Rampai, Jakarta: Gramedia, 1983, hal, 57.
[2] Bdk; Tim Penulis Senawangi, Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Senawangi, 1994, hal 29.
[3] Ibid.,
[4] Bdk; Soerjanto Poespowardojo (eds), Sekitar Manusia Bunga rampai tentang Filsafat Manusia, Jakarta: Gramedia, 1985, hal 118-119.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Bdk; Sri Mulyono, Wayang Asal-Usul, filsafat dan Masa Depannya, Jakarta: Gunung Agung, 1978, hal, 154.
[8] Ibid., hal, 150.
[9] Ibid., hal,155.
[10] Sorjanto Poespowardojo, Op Cit., hal, 119.
[11] Ibid,.
[12] Bdk; Hazim Amir, NIlai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal 97.
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hal, 99.
[16] Ibid.,
[17] Hazim Amir, Op Cit., hal, 19.
[18] Ibid.,
[19] Bdk; KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996, hal 19.
Langganan:
Postingan (Atom)