REINKARNASI MENURUT PAHAM BARAT DAN TIMUR
(KAJIAN FILSAFAT PERBANDINGAN)
By: Lucius Tumanggor, SVD
I. PENGANTAR
Paper ini akan berbicara tentang “reinkarnasi menurut paham Barat dan Timur”. Tema ini lahir saat penulis bersama beberapa teman pernah mengangkat satu tema untuk bahan diskusi dalam tugas kelompok. Tema itu adalah tentang “Kematian” dalam perbandingan Barat dan Timur. Dan tema itu pulalah yang kami angkat dalam presentasi kelompok pada studi perbandingan Barat dan Timur. Dalam masukkannya, ada beberapa dari teman-teman mahasiswa menganjurkan agar tema ini dilanjutkan kembali khususnya untuk membahas persoalan “apa yang terjadi setelah peristiwa kematian manusia”. Bagi penulis, peristiwa itu tidak lain adalah peristiwa “reinkarnasi”. Sebagai jawaban atas itu, penulis mengangkat tema reinkarnasi sebagai bahan kajian dalam tulisan paper ini.
Tema ini (reinkarnasi) akan kelihatan memiliki kelanjutan dari tema “kematian” yang pernah kami angkat dalam kelompok. Dalam paper ini juga akan ditemukan beberapa kesamaan tulisan atau ide dengan tema yang sudah dibahas. Mengapa? Karena tulisan tentang “Kematian” sendiri adalah gagasan, tulisan dan ide pokoknya dari penulis sendiri dan teman kelompok hanya mengikuti proses berpikir dari penulis sendiri. Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan siapa-siapa, namun hanya untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam isi paper ini. Maka hal ini kami sampaikan kepada dosen pembimbing yang terhormat agar dapat memakluminya. Kami sengaja menyampaikan ini semata-mata untuk mengindari adanya kesalahpahaman saja.
Untuk memudahkan pemahaman kita atas materi ini, penulis membuat skema sebagai berikut. Bagian pertama adalah pengantar. Dalam pengantar akan disinggung alasan lahirnya tema ini. Selain alasan, juga dibahas bagaimana skema pemikiran paper ini. Kemudian dalam bagian kedua, penulis menyajikan apa arti terminology reinkarnasi. Setelah memahami dengan baik artinya, pada bagian ketiga, penulis masuk pada bagaimana orang Timur memahami reinkarnasi. Pada bagian keempat, bagaimana orang Barat memahami reinkarnasi serta pada bagian kelima akan dibahas bagaimana kekristenan memandang reinkarnasi itu sendiri. Setelah itu, maka penulis menyimpukannya dalam penutupan paper ini. Inilah rangkaian yang akan menghiasi isi dari paper ini.
II. ARTI REINKARNASI
Istilah reinkarnasi diadopsi dari kata latin “reincarnari” yang artinya “dijelmakan lagi, penjelmaan kembali” atau “kelahiran kembali dalam tubuh”. Kata incarnari dalam bahasa latin berasal dari kata “caro-carnis” yang berarti “daging atau tubuh” . Dalam bahasa Sanskerta reinkarnasi dipahami sebagai jiwa (atman) seseorang setelah kematiannya dilahirkan kembali dalam orang lain (atau binatang) karena karmanya. Atman atau diri manusia dipandang bukan individual, apalagi personal. Dari terminology ini kita bisa memahami bahwa pengertian inkarnasi mengarah pada “kelahiran kembali jiwa atau diri manusia dalam wujud daging atau tubuh manusia, ataupun bisa dalam bentuk binatang atau makhluk lainnya.
III. REINKARNASI DALAM PAHAM TIMUR
Konsep reinkarnasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kebudayaan Timur. Reinkarnasi telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat China-India. Paham reinkarnasi telah tertanam dalam perasaan dan emosi dari orang-orang China. Kepercayaan ini tercermin dalam watak, kebiasaan, cara pandang, serta interaksi mereka dalam hal hubungan, keyakinan, filososfi serta kepercayaan seseorang.
3.1. Reinkarnasi dalam pandangan orang India
Orang India sangat percaya dengan adanya reinkarnasi dalam kehidupan manusia setelah peristiwa kematiannya. Keyakinan ini berasal dari sebuah tradisi yang sudah lama mengakar dalam keyakinan dan budaya mereka, yakni tradisi hinduisme. Dalam hinduisme, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka.
Dalam paham ini orang India meyakini bahwa reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya.
Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya. Ajaran ini juga memberi optimisme kepada manusia, bahwa semua perbuatannya akan mendatangkan hasil, yang akan dinikmatinya sendiri, bukan orang lain.
Proses Reinkarnasi Dalam Diri manusia
Samsara.
Samsara adalah seseorang yang setelah kematiannya akan mengalami pengembaraan. Ia akan mengembara dan menuju kepada pengembaraan jiwa dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain, dari masa kehidupan yang satu ke masa kehidupan yang lain, dari lahir, hidup, sampai mati. Dapat dibandingkan dengan tunas yang baru tumbuh di atas pohon pada setiap musim semi, meskipun tampaknya pohonnya sudah mati ketika musim dingin. Bagi orang India, baik alam dunia maupun alam manusia mempunyai kecendrungan untuk “mengulang kembali” kehidupan yang sama.
Karma
Alasan mengapa semua benda yang hidup terus-menerus dilahirkan kembali adalah karma, hukum sebab-akibat. Orang Hindu percaya bahwa karma yang menumpuk dalam kehidupan sebelumnya pindah ke masa kini dan sangat menentukan wujud kelahiran jiwa kembali. Setiap orang Hindu berusaha menghindari diri dari efek karma pada kelahiran kembali berikutnya dengan melakukan perbuatan amal dan hidup dengan tidak mementingkan sendiri. Bagavad Gita mengajarkan bahwa itulah satu-satunya cara supaya dapat dilahirkan kembali dengan sedikit mungkin karma. Karma yang buruk memastikan bahwa jiwa manusia akan kembali pada kehidupan yang akan datang dengan tingkat yang lebih rendah.
Moksa
Moksa adalah akhir dari samsara –pengembaraan jiwa dan merupakan tujuan setiap orang (Hindu). Spiritualitas Hindu pertama-tama tertuju pada membawa jiwa manusia pada “pantai yang lain”, dengan kata lain, pengajaran untuk dapat menemukan pembebasan dari kelahiran kembali. Untuk menjalankannya orang Hindu merasa perlu untuk menetralisasi karma dengan cara menghindarkan diri dari semua keinginan. Cara ini adalah semacam mendapat emas dari logam yang masih kotor: cara ini membutuhkan banyak usaha, tetapi akhirnya akan mendapatkan emas murni. Pada akhir proses ini jiwa masuk kembali ke dalam alam ilahi –Brahman. Untuk mengerti prose ini, orang Hindu sering menggunakan gambaran bagaikan sungai yang pada akhirnya mengalirkan airnya ke dalam lautan, dan ditelan olehnya. Peristiwa ini hanya bisa terjadi jika jiwa sungguh-sungguh suci dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang terjadi ketika hidup di dunia. Maka itu, jiwa dapat kembali pada bagian dari Brahman –yang darinya jiwa itu berasal.
3.2. Reinkarnasi dalam pandangan orang China
Orang China juga meyakini adanya proses reinkarnasi dalam diri seseorang setelah peristiwa kematian. Kepercayaan ini berasal dari ajaran budhisme yang sudah lama mengakar dalam budaya dan keyakinan hidup orang-orang China. Reinkarnasi dalam Budhisme disebut punabbhava (proses kelahiran kembali). Maksudnya adalah semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus mengalami proses lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesuciannya. Tingkat kesucian ditentukan oleh karma makhluk tersebut; bila ia baik akan terlahir di alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang menderitakan. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya karma pada detik kematiaannya, bila pada saat ia meninggal dia berpikiran baik maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, namun sebaliknya ia akan terlahir di alam yang menderitakan, sehingga segala sesuatu tergantung dari karma masing-masing.
Proses Reinkarnasi Dalam Diri Manusia
Karma
Dalam tulisannya, Michael Keene mengatakan bahwa karma disebut jumlah perbuatan manusia, mempunyai pengaruh langsung dalam bentuk kehidupan manusia pada masa yang akan datang. Tingkat perbuatan moral menentukan apakah seseorang akan mengalami reinkarnasi atau mencapai nirvana. Umat awam budha berusaha membangun karma yang baik dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang yang diperintahkan. Dengan cara ini, mereka berharap dapat dilahirkan kembali dengan baik.
Nirvana
Lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian yang tanpa akhir disebut samsara, yang artinya “pengembara tiada akhir”. Semua makhluk hidup adalah bagian dari lingkaran ini dan mereka tidak bisa bebas dari lingkaran itu sampai mereka mencapai nirvana. Nirvana adalah “tempat kesejukan –adalah keadaan dimana nafsu yang berkobar-kobar dan keserakahan dipadamkan.
3.3. Hinduisme-Budhisme: Reinkanasi Adalah Lahir Kembali
Bagi orang India dan Cina, kematian bukanlah peristiwa yang menakutkan karena setelah kematian, manusia mengalami reinkarnasi (kelahiran kembali). Reinkarnasi dalam Budhisme disebut punabbhava (proses kelahiran kembali). Maksudnya adalah semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus mengalami proses lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesuciannya.
Dalam budhisme diajarkan bahwa alam kelahiran ditentukan oleh karma makhluk tersebut; bila ia baik akan terlahir di alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang menderitakan. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya karma pada detik kematiaannya, bila pada saat ia meninggal dia berpikiran baik, maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, namun sebaliknya, ia akan terlahir di alam yang menderitakan.
Dan dalam paham hinduisme, reinkarnasi pandang sebagai proses kesadaran. Maksudnya,manusia diajar supaya memiliki kesadaran terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Mengapa harus ada reinkarnasi? Reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya.
IV. REINKARNASI DALAM PAHAM BARAT
Kalau kita melihat pemikiran-pemikiran filosofis Barat, hampir tidak ada yang berminat untuk mengkaji paham tentang reinkarnasi. Reinkarnasi sebagaimana dalam pandangan Timur sangat sulit untuk dipahami dalam koridor rasio manusia. Rasio manusia sangat sulit untuk memahami apalagi memastikan apa dan bagaimana peristiwa manusia setelah kematiaannya. Secara filosofis, manusia Barat dipenuhi dengan pesimistis dan keragu-raguan. Reinkarnasi adalah suatu mitos kuno untuk menenangkan hati manusia dalam menghadapi realitas kematian. Sebab bagi mereka kematian adalah sesuatu yang menakutkan.
Dalam refleksinya, orang Barat melihat bahwa kematian itu menyakitkan dan jiwa akan mengalami sengsara dalam fase sesudah mati. Kematian tidak lain adalah pengalaman tragis dan menyedihkan bagi orang yang ada di sekitar. Dalam bukunya tentang “Death and Dying”, Dr. Elisabeth Kubler-Ross mengatakan bahwa gejala yang paling umum dialami oleh manusia yaitu rasa takut. Hal ini diperoleh lewat penelitiannya saat wawancara dengan para pasien di rumah sakit. Dia mengatakan bahwa pada umumnya pasien menolak dan menyangkal, tidak percaya bahwa hal ini mesti terjadi atas diri mereka. Bukan dirinya tapi orang lain yang harus mati. Orang Barat sangat sulit untuk mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Mereka beranggapan bahwa kehidupan setelah mati adalah ketidakmungkinan. Kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati secara metafisik tidak mungkin, tidak memiliki dasar empiris. Hal ini sangat menakutkan oleh karena ketidakjelasan setelah peristiwa kematian.
Dalam karyanya tentang Sein und zeit (“ada dan waktu”), Heideger pernah mengatakan bahwa manusia “terdampar/ terlempar” di dunia ini ke arah maut sedemikian, sehingga keberadaan (eksistensi) manusia itu sama dengan “ ada ke arah maut”. Heideger melihat bahwa gejala maut itu hadir dalam kesuluruhan hidup manusia ( dalam inti “ada”) itu. Bagaimana Heideger sampai pada pengertian di atas? Heideger memahami bahwa keseluruhan manusia itu menampakkan diri dalam pengalaman yang disebut khawatir. Kekawatiran tampak dalam kenyataan bahwa manusia selalu dibayangi oleh kemungkinan akan ketidakberdayaan akan maut.
Berhadapan dengan kematian, manusia pun merasakan ketakutan dan kekawatiran. Ketakutan akan apa? Yakni, ketakutan akan maut. Ketakutan akan maut, bagi Heideger, tidak lain adalah kekawatiran manusia itu sendiri akan kematian. Maut itu adalah kematian yang mengancam kehidupan manusia. Kematian menjadi Kekhawatiran setiap orang. Mengapa? karena dengan ancaman kematian tersebut, “adanya” (Dasein) manusia tidak membuka kemungkinan-kemungkinan lagi, manusia tidak dapat merencanakan lagi, manusia habis, tiada (menjadi tidak ada lagi). Heideger menyimpulkan bahwa akibat dari kelahiran adalah kematian. Sejak kelahiran manusia, kematian sudah menunggunya. Sekali mati tetap mati tidak ada masa depan lagi.
V. REINKARNASI DALAM KEKRISTENAN
Reinkarnasi berarti bahwa jiwa (atman dalam bahasa sanskerta) seseorang setelah kematiannya dilahirkan kembali dalam orang lain (atau binatang) karena karmanya. Atma atau diri manusia dipandang bukan individual, apalagi personal. Pandangan reinkarnasi (samsara) yang terdapat dalam beberapa agama dalam kepercayaan ditolak tegas oleh agama Kristen. Sebab, manusia tidak mungkin menebus dirinya, walaupun mengusahakannya dengan beberapa kali dilahirkan.
Reinkarnasi ini bertentangan dengan ajaran Kristen mengenai martabat –pribadi setiap orang tentang personalitas serta tanggung jawab dan mengenai –pengadilan setiap orang setelah kematiaannya sesuai iman dan perbuatannya. Kelahiran dalam manusia lain tiada hubungan dengan kelahiran kembali manusia sebagai Anak Allah dalam pembaptisan. Reinkarnasi bukan jalan untuk –akhirnya –akhirnya –menjadi baik, karena bukan kitalah yang menciptakan keselamatan abadi, melainkan Allahlah yang menganugerahkannya kepada orang beriman.
VI. PENUTUP
Reinkarnasi dalam pemahaman orang India dan Budha bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kualitas kehidupannya. Untuk apa? Hanya untuk boleh menikmati kebahagiaan yang tertinggi (Brahman-nirvana).
Namun, adakah hal ini menjadi inspirasi orang Barat? Tidaklah demikian. Orang Barat melihat hal ini hanya semata-mata mitos kuno yang yang sama sekali tidak dapat dibuktikan lewat ratio manusia. Peristiwa sesudah kematian adalah peristiwa menakutkan dan menggelisahkan. Sebab manusia tidak memiliki pengalaman akan hal itu.
Namun, ketika manusia mengalami ketidakjelasan dan ketakutan akan peristiwa setelah kematian, Kekristen meyakini dan menjamin adanya keselamatan jiwa lewat kepercayaan Pada Allah dalam diri Yesus Kristus sebagai Sang Juru selamat. Manusia tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuan Tuhan yang menjadi Pengantara manusia. Bila manusia ingin hidup dan lahir secara baru, maka ia harus lebih dahulu percaya percaya kepada Allah Tritunggal Mahakudus, dan hidup sesuai dengan nasehat-nasehat injil-Nya.
Selasa, 05 Oktober 2010
Kamis, 21 Januari 2010
GABRIEL MARCEL (1889-1973)
GABRIEL MARCEL (1889-1973)
oleh: Lucius Tumanggor
I. PENGANTAR
Gabriel Marcel adalah seorang filosof berkebangsaan Perancis. Dia dikenal sebagai pemain drama dan komposer musik. Dalam gagasan filosofisnya, banyak orang mengatakan bahwa Gabriel Marcel adalah seorang eksistensialis dan dekat dengan kaum personalis. Mengapa Ia dikenal demikian? Karena ia menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Dalam pemahamannya, filsafat dikarakterisasi pada sebuah perasaan tragis manusia, tetapi juga sebuah pengharapan dan misteri ada. Pada tahun 1929 Ia bergabung dengan Gereja Katolik Roma. Walaupun demikian, dia bukanlah seorang Thomistik, melainkan tetap mendekatkan diri pada kaum eksistensialis dan personalis. Setelah tahun 1949, ia terang-terangan menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik dan menegaskan mengenai karakter berpikir filofisnya yang adalah terbuka dan dialogis.
Paper ini akan berbicara tentang bagaimana Gabriel Marcel menggagas filosofisnya dalam jati diri manusia itu sendiri. Kami akan membahas secara ringkas apa, dan bagaimana pemikirannya menyentuh pengalaman hidup manusia itu sendiri. Kemudian, kita akan menarik gagasannya ini dalam situasi konkret hidup yang kita lalui setiap hari dalam sebuah relevansinya. Maka setelah mengkaji suatu relevansi yang ada ini, kita menyimpulkan kajian kita ini dalam penutup paper ini. Hal inilah yang akan menghiasi jalan pikiran paper ini.
II. PEMIKIRAN FILOSOFIS GABRIEL MARCEL
Di atas kita telah mengetahui bahwa karakter berfilsafat Marcel sifatnya terbuka dan dialogis. Terbuka dan dialogis hendak mengatakan bahwa filsafat pada dasarnya adalah ilmu yang siap dan terbuka untuk didiskusikan dan didialogkan dalam kehidupan konkret demi sebuah urgensi atau keperluan ada. Marcel menolak filsafat sebagai suatu sistem. Sistematisasi mau tidak mau akan mematikan pemikiran yang hidup. Pernyataan ini menghantar kita untuk mengerti mengapa setelah tahun 1949 ia menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik? Kemungkinan besar bahwa dengan nama itu ia hendak menjadikan dirinya sebagai seorang yang senantiasa sedang mencari dan bertanya-tanya bukan untuk mensistematisasi filosofis dalam bentuk baku.
2.1. Arah Dan Metode Filosofis Marcel
Salah satu yang mengagumkan bagi kita tentang pemikiran filosofisnya adalah metode. Metode filosofis yang ditawarkan oleh Marcel adalah pengertian akan pengalaman dan pemikiran. Dalam metode ini, penulis coba memahami bahwa pengalaman dan pemikiran adalah dua realitas yang berada dalam satu identitas dalam diri Marcel sendiri. Maksudnya, ketika Marcel menyebut pengalaman, tentu ini hendak menyebut dirinya sebagai seorang dramawan atau seorang pengarang drama atau komposer musik. Demikian juga halnya saat dia menyebut pemikiran, ia hendak menyebut diri sebagai seorang filosof. Filsafat (pemikiran) dan drama/komposer musik (pengalaman) adalah dua realitas hidup yang harus didialogkan dan terbuka untuk didiskusikan demi kehidupan konkret manusia itu sendiri.
Untuk sampai pada arah dan metode filosofisnya, kita perlu mengawalinya dari sebuah pertanyaan, mengapa seorang Marcel ditampilkan seorang filsuf dan serentak juga sebagai pengarang drama/komposer musik? Pertanyaan ini menyimpan suatu makna yang tersembunyi. Dalam pemahaman penulis, drama dan filsafat bukanlah dua aktivitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang mesra dalam jiwa seseorang, dalam hal ini adalah jiwa Marcel sendiri. Di dalam diri Marcel terdapat kesatuan erat antara filsafat dan seni drama, karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memahami siapakah sebenarnya manusia. Drama sangat membantu manusia untuk mendekati keadaan hidup yang konkret.
Hubungan drama dan filsafat (hubungan pengalaman dan pemikiran) langsung menjadi jelas, bila kita melihat pernyataan Marcel sebagai berikut: Pikiran awalnya berada dalam pengalaman, dan kehadiran filsafat adalah mentransmisi pengalaman ke dalam pikiran (“ though takes its beginning in immediate experience, and Marcel declares philosophy to be experience transmuted in to thougt”). Drama (pengalaman) dapat menjadi sarana istimewa untuk menengahi pemikiran (filsafat) dalam kehidupan manusia secara konkret.
2.2. Peralihan Dari Eksistensi Manusia Menuju/Mengacu Pada Ada yang Transenden
Refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia objektif dan menuju/ mengacu pada ada yang transenden. Bagi Marcel seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen. Pertanyaan kita: apa itu eksistensi? Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan obyektivitas. Eksistensi tidak pernah dapat dijadikan obyektivitas. Eksistensi adalah pengalaman konkret “saya” sebagai subyek dalam dunia. Dengan kata lain, eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor konkret yang menandai hidup “saya”. Marcel mengatakan bahwa refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia obyektif dan menuju pada ada yang transenden. Atau kita bisa mengatakan bahwa eksistensi (“saya”) harus menuju ke Ada.
Dalam refleksi filosofis selanjutnya, peralihan itu ditandai dengan fase kekaguman, refleksi dan eksplorasi. Bagi Marcel, filsafat berawal mula dari suatu kekaguman atau keheranan yang sifatnya eksistensial dan bukan rasional apalagi ilmiah. Kita mulai merasa heran tentang kenyataan, khususnya tentang diri kita sendiri, dan lebih khusus lagi tentang inkarnasi, artinya situasi “saya” sebagai makhluk bertubuh yang terjalin dengan kosmos. Namun, dengan mengagumi saja, kita belum berfilsafat. Refleksi merupakan suatu fase hakiki dalam filsafat. Tidak pada tempatnya bila orang memertentangkan refleksi dengan kehidupan dan dengan demikian menciptakan suatu dilema. Marcel dengan tegas menolak rasionalisme, tetapi itu tidak berarti pula bahwa ia memihak anti-intelektualisme. Menurut dia, dalam refleksi kita harus membedakan dua tahap: refleksi pertama dan refleksi kedua.
Refleksi pertama mempunyai ciri sebagai berikut: abstrak, analitis, obyektif, universal, dapat diverifikasi. Refleksi ini dilangsungkan dalam ilmu pengetahuan. Tetapi filsafat tidak boleh berhenti di situ. Refleksi pertama ini berperan juga dalam filsafat, tetapi tidak sebagai titik akhir (Marcel does not deny the importance of primary reflection in science, but he refuses to accept such reflection as final or normative for all thinking).
Refleksi kedua tidak mengobyekkan tetapi berlangsung berdasarkan partisipasi atau berlangsung dalam suasana permenungan. Refleksi kedua tidak berbicara tentang obyek-obyek tetapi tentang kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pendekatan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Refleksi kedua ini berlangsung dalam konteks “persona”. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai Ada yang sebenarnya, yang tersembunyi bagi “pemikiran obyektif”.
Refleksi ketiga adalah eksplorsi. Dalam fase ini “saya” mengakui bahwa “saya” mengambil bagian pada Ada. Di sini “saya” menerima secara bebas realitas di mana “saya” berada, termasuk juga diri “saya” sendiri. Sekarang kita sudah mengerti lebih baik bagaimana Marcel berangkat dari kehidupan dan akhirnya kembali lagi pada kehidupan. Dia juga pernah berkata bahwa bagi seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen karena Marcel percaya bahwa sebuah filsafat konkret /nyata secara magnetik telah mengarah kepada kehidupan kristianitas. Bagi Marcel “Ada” adalah sebuah persetujuan esensial antara kristianitas dan manusia.
2.3. Distingsi Fundamental Antara Problematik dan Misterius
Bagi Marcel ada sebuah distingsi fundamental antara problematik dan misterius. Suatu problem adalah sesuatu yang “saya” munculkan, sebuah masalah objektif di mana “saya” tidak terlibat. Suatu misteri adalah sesuatu yang mana “saya” terlibat dan esensi ini tidak sempurna. Misteri ini bukan hanya merupakan pembatasan dalam pengetahuan.
Dalam filsafat Marcel disuguhkan dua perbedaan dalam memahami perspektif baru. Problem maksudnya masalah yang diajukan kepada “saya” dari luar. Problem mempunyai konotasi “obyektif”: “saya” sendiri tidak terlibat. Suatu problem dapat dipecahkan, hingga akhirnya sudah lenyap sebagai problem. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa problem dapat dijumpai pada taraf pemikiran logis dan matematis, pemikiran yang jelas dan pemikiran teknis. Demikian juga halnya misteri.
Marcel berpendapat bahwa misteri tidak pernah diajukan kepada “saya” secara “obyektif”. Misteri tidak berada di depan atau di luar “saya”, tetapi dalam diri “saya” atau lebih tepat lagi “saya” sendiri termasuk misteri itu. Suatu misteri melibatkan “saya” sendiri. Bertanya tentang misteri serentak juga berarti bertanya tentang diri “saya” sendiri. Misteri tidak bisa dipecahkan. Bagi Marcel, pemikiran tidak dapat menghabiskan atau melenyapkan suatu misteri. Namun misteri juga tidak sama dengan “yang tidak dapat dimengerti”. Misteri melampaui kemampuan pemikiran bukan karena kegelapannya, melainkan karena cahayanya. Beberapa contoh tentang misteri yang dikemukakan dalam pembahasan kita adalah kebebasan, roh, arti kehidupan. Menurut Marcel, misteri yang paling fundamental adalah misteri Ada.
2.4. Tentang Tubuh Sebagai “Sesuatu” yang Kita miliki atau Rasa Memiliki
Berbicara tentang tubuh, Marcel mengarahkan kita untuk sampai pada suatu refleksi. Refleksi pertama adalah kita dibimbing untuk berpikir tentang tubuh kita sebagai sesuatu yang kita miliki atau rasa memiliki. Tetapi ini tidak cukup. Marcel berpendapat bahwa saya memiliki hubungan dengan tubuhku atau ada yang berinkarnasi di dalamnya. Di sini ada sebuah elemen misteri, sesuatu yang melampaui batas. Refleksi kedua yaitu berpikir tentang diri dalam kesatuan dengan tubuh. Di sini saya diikutsertakan dalam relasi dengan tubuhku. Saya berinkarnasi dalam tubuhku. Refleksi ini menghantar saya pada batas-batas refleksi tentang subyek-obyek.
Dalam kajiannya, Marcel mengungkap tabir yang terselubung dalam hidup manusia. Di dalam hidup manusia ada dikenal istilah tubuh sebagai tubuhku. Bagaimana hal ini dipahami? Marcel mengawalinya dengan mengajukan suatu masalah mengenai kaitan antara tubuh dengan terminologi “mempunyai/memiliki” dan “Ada”. Suatu persoalan adalah “saya” mempunyai tubuhku ataukah “saya” adalah tubuhku? Kalau “saya” katakan bahwa “saya” mempunyai tubuhku, “saya” terbentur pada belbagai kesulitan. Tubuhku bagi “saya” bukan obyek. Bukan salah satu tubuh atau sembarang tubuh. Marcel menambahkan bahwa dalam tubuhku “saya” berpartisipasi dalam dunia dan dalam hubungannya dengan orang lain serta segala sesuatu. Dia memaksudkan ini supaya kita sadar akan elemen misteri dalam pengalaman kita sebagai manusia di dunia, dalam diri orang lain, sesuatu dan dalam ada.
Pernyataan tentang “saya” mempunyai tubuhku” hendak mengatakan suatu claim , suatu keperluan untuk memelihara, dan suatu penguasaan. Ada kesulitan bahwa kemungkinan kita memandang tubuh sebagai alat. Sebuah alat berada di tengah pemakai dan hal yang dikerjakan. Sangat jelas bagi kita bahwa jika kita menganggap tubuh sebagai alat, kita terjerat dalam rupa-rupa kesulitan yang tidak ada jalan keluarnya. Perlu kita pahami bahwa sejauh tubuh adalah tubuhku, tubuh tidak merupakan alat begitu saja dan tidak pula merupakan obyek yang dapat dihadapkan dengan aku sebagai subyek. Bagi Marcel, Tubuh adalah “alat absolut”. Artinya alat yang memungkinkan alat-alat tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain. Selain itu, tubuh adalah prototipe di bidang ‘mempunyai”, artinya yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh suatu yang lain.
2.5. Kesetiaan Sebagai Sentral Dalam Membangun Relasi Intersubyektif
Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif antara manusia. Kesetiaan, menurut Marcel adalah bersama dengan kehadiran orang lain. Kesetiaan bukan hanya konstansi atau berakar dalam realitas transendeen. Tetapi kesetiaan adalah lebih dari konstansi yang dipahami sebagai ketekunan dalam pencapaian tujuan. Kesetiaan melibatkan Adaku yang sekarang bagi orang lain.
Salah satu kata kunci untuk melukiskan hubungan manusia dengan sesamanya adalah kehadiran (presence). Menurut Marcel misteri Ada tidak tampak dengan cara yang semestinya, kalau tidak diselidiki dri sudut intersubyektivitas, artinya relasi antar-manusia. “Ada” selalu berarti “Ada bersama”. Istilah kehadiran (presence) bukanlah berarti berada di tempat yang sama. Kata ini tidak boleh dimengerti secara “obyektif”, dengan menerapkan kategori-kategori ruang dan waktu, tetapi lebih pada keterarahan diri yang satu bagi yang lain. Atau dapat dikatakan bahwa kehadiran itu perjumpaan “Aku” dan “Engkau”.
Marcel memahami bahwa istilah relasi “Aku” dan “Engkau” hendak menunjukkan bahwa sesama manusia tampak bagi “saya” justru sebagai sesama. Sesama hadir bagi “saya” bila ia lebih dari salah satu individu; bila “saya” sungguh-sungguh mengadakan kontak dengan dia sebagai persona. “kehadiran” ini dapat diwujudkan, biarpun dalam ruang kita saling berjauhan. Kehadiran direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Di sini Aku dan Engkau mencapai taraf “Kita”. Pada taraf Kita , Aku dan Engkau diangkat menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian. Dengan demikian timbullah kebersamaan. Kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif.
Dalam pengkajian selanjutnya, Marcel menegaskan bahwa kebersamaan ini menurut kodratnya harus berlangsung terus. Karena itu dalam pengalaman cinta terkandung juga bahwa “Aku” mengikat diri dan tetap setia (fidelity). Kesetian ini disebut sebagai “kesetiaan kreatif” (creative fidelity). Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif. Kesetiaan melibatkan adaku yang sekarang bagi orang lain. Kesetiaan melibatkan komitmen tanpa syarat dan ada yang bersedia bagi orang lain. Aksi dari kesetiaan kepada orang lain dipahami sebagai kerendahan hati. Kesetiaan adalah juga sebuah persembahan diri kita bagi orang lain. Kesetiaan dialami sebagai hati dari batas egosentrisitas kita sendiri. Demikian kesetiaan mengarahkan kita semakin beriman kepada yang absolut, Tuhan.
2.6. Kesetiaan Mengarahkan Kita Beriman Pada Batas Diri yang Absolut/ Tuhan
Marcel memberikan suatu adanya pengharapan. Dia melihat bahwa refleksi filosofis tentang kehadiran orang lain menghantar kita kepada kehadiran dari “yang lain” secara istimewa yaitu Allah. Kehadiran yang dijiwai oleh kesetiaan justru menghantar kita untuk semakin mengenal Allah. Kesetiaan adalah bagian dari iman. Dalam iman, kita akan menemukan kemungkinan dan jaminan dari kesetiaan kita. Marcel pernah mengatakan bahwa “saya” dibimbing/ dihantar pada Ada yang dari awal dan “saya” menjadi penuh sebagai manusia dalam kesatuaan dengan orang lain dan Tuhan.
III. RELEVANSI
Marcel menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Di dalam diri manusia ditemukan kehadiran yang harmonis antara Aku –Engkau. Manusia tampak bagi “saya” sebagai sesama bukan sebagai obyek dari diri “saya”. Kehadiran sesama direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Dengan cinta relasi Aku dan Engkau menjadi Kita. Kata “Kita” hendak menegaskan kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. Sebuah problem akan muncul mana kala sesama ku yang lain dijadikan sebagai obyek sasaran. Kita ambil salah satu peristiwa di Fillipina yang memilukan hati baru-baru ini, yaitu 57 orang terbantai oleh kekejaman Andal Ampatuan Jr. peristiwa ini terjadi pada tanggal 25 November 2009 yang lalu.
Pembantaian 57 Orang di Manguindanao
Sebanyak 57 orang, sebagian besar perempuan dan wartawan, dibantai di wilayah Mindanao. Menurut sumber harian Kompas bahwa para korban itu ditangkap pada saat mereka sedang melakukan perjalanan konvoi dengan isteri Mangudadatu, ketika dia akan ke kantor komisi pemilihan umum untuk mendaftarkan suaminya yang mencalonkan diri sebagai gubernur. Pihak militer mengatakan, tertuduh utama dalam aksi penculikan dan pembunuhan itu adalah orang-orang bersenjata yang disewa oleh gubernur Maguindanao, Andal Ampatuan, dan putranya yang bernama sama. Satu alasan mengapa mereka dibunuh karena kelompok politik kuat itu ingin menghentikan langkah Mangudadatu yang menantang Ampatuan junior untuk meraih jabatan gubernur dalam pemilihan umum nasional tahun depan (2010).
Sebuah misteri Ada tercabik-cabik dalam sebuah drama pembantaian dengan kedok ketakutan akan kehilangan kuasa. Kuasa memainkan peran untuk membungkam orang-orang yang tidak bersalah. Gambaran ketidak-bersalahan itu tercermin dalam diri kaum perempuan dan para wartawan yang korban pembantaian. Mereka adalah sesama yang tidak berdaya untuk melawan, sebab mereka tidak dibekali oleh senjata pengaman diri sebagaimana kaum pembunuh yang dilengakapi dengan senjata dan amunisi yang mematikan.
Kini kita melihat bahwa sebuah kebebasan, individualitas, pilihan, demikian juga sebuah tanggung jawab sesama, larut bersamaan seiring adanya pembantaian ini. Pembantaian menyisihkan ragam kecemasan dalam diri manusia yang lain. Pembantaian kini menghilangkan relasi Aku-Engkau. Pembantaian menjauhkan kebersamaan “Kita”. Pembantaian membuat kehadiran yang lain terputus dalam suasana yang menyedihkan. Pembantaian menjadikan kehadiran yang lain kini mencemaskan dan membawa duka yang mendalam bagi “Kita”. Pembantaian memporak-porandakan kebersamaan yang komunikatif yang telah terbangun dalam penuh kesetiaan. Pembantaian membuat creative fidelity menjadi berlaku surut. Dan pembantaian hanya bisa menghadirkan persoalan baru dalam relasi sesama yang tidak lagi harmonis.
Melihat peristiwa ini, kita tidak perlu pesimis bahwa segala-galanya akan berlalu, namun kita perlu memiliki suatu harapan bahwa kebenaran akan tetap tegak seiring dengan dibangunnya kembali relasi yang baik demi mewujudkan terjalinnya suatu kebersamaan.
IV. PENUTUP
Dalam paper ini diangangkat sebuah refleksi tentang pengalaman diri manusia. Pengalaman manusia sudah lebih dahulu dikembangakan oleh Marcel dalam refleksi-refleksi filosofisnya. Sangat mengagumkan bagi kita bahwa dalam diri manusia ditemukan Aku yang lain. Aku yang lain tercermin dalam relasi antara Aku-Engkau yang menghadirkan sesama sebagai persona.
Manusia sebagai persona adalah suatu misteri yang melaluinya kita bisa mengenal yang absolut, atau biasa kita sebut sebagai Tuhan. Mengenal sesama, Tuhan dengan baik tidak bisa dilepaskan dari sebuah relasi yang baik dalam sebuah kebersamaan yang komunikatif. Bila kita ingin mengedepankan kebersamaan yang komunikatif, maka kita hendaknya tetap memiliki semangat persaudaraan dalam “Kita” yang semangat dan kreatif (creative fidelity).
oleh: Lucius Tumanggor
I. PENGANTAR
Gabriel Marcel adalah seorang filosof berkebangsaan Perancis. Dia dikenal sebagai pemain drama dan komposer musik. Dalam gagasan filosofisnya, banyak orang mengatakan bahwa Gabriel Marcel adalah seorang eksistensialis dan dekat dengan kaum personalis. Mengapa Ia dikenal demikian? Karena ia menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Dalam pemahamannya, filsafat dikarakterisasi pada sebuah perasaan tragis manusia, tetapi juga sebuah pengharapan dan misteri ada. Pada tahun 1929 Ia bergabung dengan Gereja Katolik Roma. Walaupun demikian, dia bukanlah seorang Thomistik, melainkan tetap mendekatkan diri pada kaum eksistensialis dan personalis. Setelah tahun 1949, ia terang-terangan menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik dan menegaskan mengenai karakter berpikir filofisnya yang adalah terbuka dan dialogis.
Paper ini akan berbicara tentang bagaimana Gabriel Marcel menggagas filosofisnya dalam jati diri manusia itu sendiri. Kami akan membahas secara ringkas apa, dan bagaimana pemikirannya menyentuh pengalaman hidup manusia itu sendiri. Kemudian, kita akan menarik gagasannya ini dalam situasi konkret hidup yang kita lalui setiap hari dalam sebuah relevansinya. Maka setelah mengkaji suatu relevansi yang ada ini, kita menyimpulkan kajian kita ini dalam penutup paper ini. Hal inilah yang akan menghiasi jalan pikiran paper ini.
II. PEMIKIRAN FILOSOFIS GABRIEL MARCEL
Di atas kita telah mengetahui bahwa karakter berfilsafat Marcel sifatnya terbuka dan dialogis. Terbuka dan dialogis hendak mengatakan bahwa filsafat pada dasarnya adalah ilmu yang siap dan terbuka untuk didiskusikan dan didialogkan dalam kehidupan konkret demi sebuah urgensi atau keperluan ada. Marcel menolak filsafat sebagai suatu sistem. Sistematisasi mau tidak mau akan mematikan pemikiran yang hidup. Pernyataan ini menghantar kita untuk mengerti mengapa setelah tahun 1949 ia menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik? Kemungkinan besar bahwa dengan nama itu ia hendak menjadikan dirinya sebagai seorang yang senantiasa sedang mencari dan bertanya-tanya bukan untuk mensistematisasi filosofis dalam bentuk baku.
2.1. Arah Dan Metode Filosofis Marcel
Salah satu yang mengagumkan bagi kita tentang pemikiran filosofisnya adalah metode. Metode filosofis yang ditawarkan oleh Marcel adalah pengertian akan pengalaman dan pemikiran. Dalam metode ini, penulis coba memahami bahwa pengalaman dan pemikiran adalah dua realitas yang berada dalam satu identitas dalam diri Marcel sendiri. Maksudnya, ketika Marcel menyebut pengalaman, tentu ini hendak menyebut dirinya sebagai seorang dramawan atau seorang pengarang drama atau komposer musik. Demikian juga halnya saat dia menyebut pemikiran, ia hendak menyebut diri sebagai seorang filosof. Filsafat (pemikiran) dan drama/komposer musik (pengalaman) adalah dua realitas hidup yang harus didialogkan dan terbuka untuk didiskusikan demi kehidupan konkret manusia itu sendiri.
Untuk sampai pada arah dan metode filosofisnya, kita perlu mengawalinya dari sebuah pertanyaan, mengapa seorang Marcel ditampilkan seorang filsuf dan serentak juga sebagai pengarang drama/komposer musik? Pertanyaan ini menyimpan suatu makna yang tersembunyi. Dalam pemahaman penulis, drama dan filsafat bukanlah dua aktivitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang mesra dalam jiwa seseorang, dalam hal ini adalah jiwa Marcel sendiri. Di dalam diri Marcel terdapat kesatuan erat antara filsafat dan seni drama, karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memahami siapakah sebenarnya manusia. Drama sangat membantu manusia untuk mendekati keadaan hidup yang konkret.
Hubungan drama dan filsafat (hubungan pengalaman dan pemikiran) langsung menjadi jelas, bila kita melihat pernyataan Marcel sebagai berikut: Pikiran awalnya berada dalam pengalaman, dan kehadiran filsafat adalah mentransmisi pengalaman ke dalam pikiran (“ though takes its beginning in immediate experience, and Marcel declares philosophy to be experience transmuted in to thougt”). Drama (pengalaman) dapat menjadi sarana istimewa untuk menengahi pemikiran (filsafat) dalam kehidupan manusia secara konkret.
2.2. Peralihan Dari Eksistensi Manusia Menuju/Mengacu Pada Ada yang Transenden
Refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia objektif dan menuju/ mengacu pada ada yang transenden. Bagi Marcel seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen. Pertanyaan kita: apa itu eksistensi? Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan obyektivitas. Eksistensi tidak pernah dapat dijadikan obyektivitas. Eksistensi adalah pengalaman konkret “saya” sebagai subyek dalam dunia. Dengan kata lain, eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor konkret yang menandai hidup “saya”. Marcel mengatakan bahwa refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia obyektif dan menuju pada ada yang transenden. Atau kita bisa mengatakan bahwa eksistensi (“saya”) harus menuju ke Ada.
Dalam refleksi filosofis selanjutnya, peralihan itu ditandai dengan fase kekaguman, refleksi dan eksplorasi. Bagi Marcel, filsafat berawal mula dari suatu kekaguman atau keheranan yang sifatnya eksistensial dan bukan rasional apalagi ilmiah. Kita mulai merasa heran tentang kenyataan, khususnya tentang diri kita sendiri, dan lebih khusus lagi tentang inkarnasi, artinya situasi “saya” sebagai makhluk bertubuh yang terjalin dengan kosmos. Namun, dengan mengagumi saja, kita belum berfilsafat. Refleksi merupakan suatu fase hakiki dalam filsafat. Tidak pada tempatnya bila orang memertentangkan refleksi dengan kehidupan dan dengan demikian menciptakan suatu dilema. Marcel dengan tegas menolak rasionalisme, tetapi itu tidak berarti pula bahwa ia memihak anti-intelektualisme. Menurut dia, dalam refleksi kita harus membedakan dua tahap: refleksi pertama dan refleksi kedua.
Refleksi pertama mempunyai ciri sebagai berikut: abstrak, analitis, obyektif, universal, dapat diverifikasi. Refleksi ini dilangsungkan dalam ilmu pengetahuan. Tetapi filsafat tidak boleh berhenti di situ. Refleksi pertama ini berperan juga dalam filsafat, tetapi tidak sebagai titik akhir (Marcel does not deny the importance of primary reflection in science, but he refuses to accept such reflection as final or normative for all thinking).
Refleksi kedua tidak mengobyekkan tetapi berlangsung berdasarkan partisipasi atau berlangsung dalam suasana permenungan. Refleksi kedua tidak berbicara tentang obyek-obyek tetapi tentang kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pendekatan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Refleksi kedua ini berlangsung dalam konteks “persona”. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai Ada yang sebenarnya, yang tersembunyi bagi “pemikiran obyektif”.
Refleksi ketiga adalah eksplorsi. Dalam fase ini “saya” mengakui bahwa “saya” mengambil bagian pada Ada. Di sini “saya” menerima secara bebas realitas di mana “saya” berada, termasuk juga diri “saya” sendiri. Sekarang kita sudah mengerti lebih baik bagaimana Marcel berangkat dari kehidupan dan akhirnya kembali lagi pada kehidupan. Dia juga pernah berkata bahwa bagi seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen karena Marcel percaya bahwa sebuah filsafat konkret /nyata secara magnetik telah mengarah kepada kehidupan kristianitas. Bagi Marcel “Ada” adalah sebuah persetujuan esensial antara kristianitas dan manusia.
2.3. Distingsi Fundamental Antara Problematik dan Misterius
Bagi Marcel ada sebuah distingsi fundamental antara problematik dan misterius. Suatu problem adalah sesuatu yang “saya” munculkan, sebuah masalah objektif di mana “saya” tidak terlibat. Suatu misteri adalah sesuatu yang mana “saya” terlibat dan esensi ini tidak sempurna. Misteri ini bukan hanya merupakan pembatasan dalam pengetahuan.
Dalam filsafat Marcel disuguhkan dua perbedaan dalam memahami perspektif baru. Problem maksudnya masalah yang diajukan kepada “saya” dari luar. Problem mempunyai konotasi “obyektif”: “saya” sendiri tidak terlibat. Suatu problem dapat dipecahkan, hingga akhirnya sudah lenyap sebagai problem. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa problem dapat dijumpai pada taraf pemikiran logis dan matematis, pemikiran yang jelas dan pemikiran teknis. Demikian juga halnya misteri.
Marcel berpendapat bahwa misteri tidak pernah diajukan kepada “saya” secara “obyektif”. Misteri tidak berada di depan atau di luar “saya”, tetapi dalam diri “saya” atau lebih tepat lagi “saya” sendiri termasuk misteri itu. Suatu misteri melibatkan “saya” sendiri. Bertanya tentang misteri serentak juga berarti bertanya tentang diri “saya” sendiri. Misteri tidak bisa dipecahkan. Bagi Marcel, pemikiran tidak dapat menghabiskan atau melenyapkan suatu misteri. Namun misteri juga tidak sama dengan “yang tidak dapat dimengerti”. Misteri melampaui kemampuan pemikiran bukan karena kegelapannya, melainkan karena cahayanya. Beberapa contoh tentang misteri yang dikemukakan dalam pembahasan kita adalah kebebasan, roh, arti kehidupan. Menurut Marcel, misteri yang paling fundamental adalah misteri Ada.
2.4. Tentang Tubuh Sebagai “Sesuatu” yang Kita miliki atau Rasa Memiliki
Berbicara tentang tubuh, Marcel mengarahkan kita untuk sampai pada suatu refleksi. Refleksi pertama adalah kita dibimbing untuk berpikir tentang tubuh kita sebagai sesuatu yang kita miliki atau rasa memiliki. Tetapi ini tidak cukup. Marcel berpendapat bahwa saya memiliki hubungan dengan tubuhku atau ada yang berinkarnasi di dalamnya. Di sini ada sebuah elemen misteri, sesuatu yang melampaui batas. Refleksi kedua yaitu berpikir tentang diri dalam kesatuan dengan tubuh. Di sini saya diikutsertakan dalam relasi dengan tubuhku. Saya berinkarnasi dalam tubuhku. Refleksi ini menghantar saya pada batas-batas refleksi tentang subyek-obyek.
Dalam kajiannya, Marcel mengungkap tabir yang terselubung dalam hidup manusia. Di dalam hidup manusia ada dikenal istilah tubuh sebagai tubuhku. Bagaimana hal ini dipahami? Marcel mengawalinya dengan mengajukan suatu masalah mengenai kaitan antara tubuh dengan terminologi “mempunyai/memiliki” dan “Ada”. Suatu persoalan adalah “saya” mempunyai tubuhku ataukah “saya” adalah tubuhku? Kalau “saya” katakan bahwa “saya” mempunyai tubuhku, “saya” terbentur pada belbagai kesulitan. Tubuhku bagi “saya” bukan obyek. Bukan salah satu tubuh atau sembarang tubuh. Marcel menambahkan bahwa dalam tubuhku “saya” berpartisipasi dalam dunia dan dalam hubungannya dengan orang lain serta segala sesuatu. Dia memaksudkan ini supaya kita sadar akan elemen misteri dalam pengalaman kita sebagai manusia di dunia, dalam diri orang lain, sesuatu dan dalam ada.
Pernyataan tentang “saya” mempunyai tubuhku” hendak mengatakan suatu claim , suatu keperluan untuk memelihara, dan suatu penguasaan. Ada kesulitan bahwa kemungkinan kita memandang tubuh sebagai alat. Sebuah alat berada di tengah pemakai dan hal yang dikerjakan. Sangat jelas bagi kita bahwa jika kita menganggap tubuh sebagai alat, kita terjerat dalam rupa-rupa kesulitan yang tidak ada jalan keluarnya. Perlu kita pahami bahwa sejauh tubuh adalah tubuhku, tubuh tidak merupakan alat begitu saja dan tidak pula merupakan obyek yang dapat dihadapkan dengan aku sebagai subyek. Bagi Marcel, Tubuh adalah “alat absolut”. Artinya alat yang memungkinkan alat-alat tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain. Selain itu, tubuh adalah prototipe di bidang ‘mempunyai”, artinya yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh suatu yang lain.
2.5. Kesetiaan Sebagai Sentral Dalam Membangun Relasi Intersubyektif
Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif antara manusia. Kesetiaan, menurut Marcel adalah bersama dengan kehadiran orang lain. Kesetiaan bukan hanya konstansi atau berakar dalam realitas transendeen. Tetapi kesetiaan adalah lebih dari konstansi yang dipahami sebagai ketekunan dalam pencapaian tujuan. Kesetiaan melibatkan Adaku yang sekarang bagi orang lain.
Salah satu kata kunci untuk melukiskan hubungan manusia dengan sesamanya adalah kehadiran (presence). Menurut Marcel misteri Ada tidak tampak dengan cara yang semestinya, kalau tidak diselidiki dri sudut intersubyektivitas, artinya relasi antar-manusia. “Ada” selalu berarti “Ada bersama”. Istilah kehadiran (presence) bukanlah berarti berada di tempat yang sama. Kata ini tidak boleh dimengerti secara “obyektif”, dengan menerapkan kategori-kategori ruang dan waktu, tetapi lebih pada keterarahan diri yang satu bagi yang lain. Atau dapat dikatakan bahwa kehadiran itu perjumpaan “Aku” dan “Engkau”.
Marcel memahami bahwa istilah relasi “Aku” dan “Engkau” hendak menunjukkan bahwa sesama manusia tampak bagi “saya” justru sebagai sesama. Sesama hadir bagi “saya” bila ia lebih dari salah satu individu; bila “saya” sungguh-sungguh mengadakan kontak dengan dia sebagai persona. “kehadiran” ini dapat diwujudkan, biarpun dalam ruang kita saling berjauhan. Kehadiran direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Di sini Aku dan Engkau mencapai taraf “Kita”. Pada taraf Kita , Aku dan Engkau diangkat menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian. Dengan demikian timbullah kebersamaan. Kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif.
Dalam pengkajian selanjutnya, Marcel menegaskan bahwa kebersamaan ini menurut kodratnya harus berlangsung terus. Karena itu dalam pengalaman cinta terkandung juga bahwa “Aku” mengikat diri dan tetap setia (fidelity). Kesetian ini disebut sebagai “kesetiaan kreatif” (creative fidelity). Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif. Kesetiaan melibatkan adaku yang sekarang bagi orang lain. Kesetiaan melibatkan komitmen tanpa syarat dan ada yang bersedia bagi orang lain. Aksi dari kesetiaan kepada orang lain dipahami sebagai kerendahan hati. Kesetiaan adalah juga sebuah persembahan diri kita bagi orang lain. Kesetiaan dialami sebagai hati dari batas egosentrisitas kita sendiri. Demikian kesetiaan mengarahkan kita semakin beriman kepada yang absolut, Tuhan.
2.6. Kesetiaan Mengarahkan Kita Beriman Pada Batas Diri yang Absolut/ Tuhan
Marcel memberikan suatu adanya pengharapan. Dia melihat bahwa refleksi filosofis tentang kehadiran orang lain menghantar kita kepada kehadiran dari “yang lain” secara istimewa yaitu Allah. Kehadiran yang dijiwai oleh kesetiaan justru menghantar kita untuk semakin mengenal Allah. Kesetiaan adalah bagian dari iman. Dalam iman, kita akan menemukan kemungkinan dan jaminan dari kesetiaan kita. Marcel pernah mengatakan bahwa “saya” dibimbing/ dihantar pada Ada yang dari awal dan “saya” menjadi penuh sebagai manusia dalam kesatuaan dengan orang lain dan Tuhan.
III. RELEVANSI
Marcel menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Di dalam diri manusia ditemukan kehadiran yang harmonis antara Aku –Engkau. Manusia tampak bagi “saya” sebagai sesama bukan sebagai obyek dari diri “saya”. Kehadiran sesama direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Dengan cinta relasi Aku dan Engkau menjadi Kita. Kata “Kita” hendak menegaskan kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. Sebuah problem akan muncul mana kala sesama ku yang lain dijadikan sebagai obyek sasaran. Kita ambil salah satu peristiwa di Fillipina yang memilukan hati baru-baru ini, yaitu 57 orang terbantai oleh kekejaman Andal Ampatuan Jr. peristiwa ini terjadi pada tanggal 25 November 2009 yang lalu.
Pembantaian 57 Orang di Manguindanao
Sebanyak 57 orang, sebagian besar perempuan dan wartawan, dibantai di wilayah Mindanao. Menurut sumber harian Kompas bahwa para korban itu ditangkap pada saat mereka sedang melakukan perjalanan konvoi dengan isteri Mangudadatu, ketika dia akan ke kantor komisi pemilihan umum untuk mendaftarkan suaminya yang mencalonkan diri sebagai gubernur. Pihak militer mengatakan, tertuduh utama dalam aksi penculikan dan pembunuhan itu adalah orang-orang bersenjata yang disewa oleh gubernur Maguindanao, Andal Ampatuan, dan putranya yang bernama sama. Satu alasan mengapa mereka dibunuh karena kelompok politik kuat itu ingin menghentikan langkah Mangudadatu yang menantang Ampatuan junior untuk meraih jabatan gubernur dalam pemilihan umum nasional tahun depan (2010).
Sebuah misteri Ada tercabik-cabik dalam sebuah drama pembantaian dengan kedok ketakutan akan kehilangan kuasa. Kuasa memainkan peran untuk membungkam orang-orang yang tidak bersalah. Gambaran ketidak-bersalahan itu tercermin dalam diri kaum perempuan dan para wartawan yang korban pembantaian. Mereka adalah sesama yang tidak berdaya untuk melawan, sebab mereka tidak dibekali oleh senjata pengaman diri sebagaimana kaum pembunuh yang dilengakapi dengan senjata dan amunisi yang mematikan.
Kini kita melihat bahwa sebuah kebebasan, individualitas, pilihan, demikian juga sebuah tanggung jawab sesama, larut bersamaan seiring adanya pembantaian ini. Pembantaian menyisihkan ragam kecemasan dalam diri manusia yang lain. Pembantaian kini menghilangkan relasi Aku-Engkau. Pembantaian menjauhkan kebersamaan “Kita”. Pembantaian membuat kehadiran yang lain terputus dalam suasana yang menyedihkan. Pembantaian menjadikan kehadiran yang lain kini mencemaskan dan membawa duka yang mendalam bagi “Kita”. Pembantaian memporak-porandakan kebersamaan yang komunikatif yang telah terbangun dalam penuh kesetiaan. Pembantaian membuat creative fidelity menjadi berlaku surut. Dan pembantaian hanya bisa menghadirkan persoalan baru dalam relasi sesama yang tidak lagi harmonis.
Melihat peristiwa ini, kita tidak perlu pesimis bahwa segala-galanya akan berlalu, namun kita perlu memiliki suatu harapan bahwa kebenaran akan tetap tegak seiring dengan dibangunnya kembali relasi yang baik demi mewujudkan terjalinnya suatu kebersamaan.
IV. PENUTUP
Dalam paper ini diangangkat sebuah refleksi tentang pengalaman diri manusia. Pengalaman manusia sudah lebih dahulu dikembangakan oleh Marcel dalam refleksi-refleksi filosofisnya. Sangat mengagumkan bagi kita bahwa dalam diri manusia ditemukan Aku yang lain. Aku yang lain tercermin dalam relasi antara Aku-Engkau yang menghadirkan sesama sebagai persona.
Manusia sebagai persona adalah suatu misteri yang melaluinya kita bisa mengenal yang absolut, atau biasa kita sebut sebagai Tuhan. Mengenal sesama, Tuhan dengan baik tidak bisa dilepaskan dari sebuah relasi yang baik dalam sebuah kebersamaan yang komunikatif. Bila kita ingin mengedepankan kebersamaan yang komunikatif, maka kita hendaknya tetap memiliki semangat persaudaraan dalam “Kita” yang semangat dan kreatif (creative fidelity).
Sabtu, 31 Mei 2008
IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN DAVID HUME
IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN DAVID HUME
I. PENDAHULUAN
Kenyataan menunjukkan bahwa pengetahuan manusia itu tidak statis, selalu berkembang. Dan pengetahuan itu diperoleh dengan berbagai cara seperti metode menyangsikan dan pengalaman. David Hume salah seorang filsuf moderen mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman. Apa itu pengalaman? dan bagimana pengalaman itu menghasilkan pengetahuan? Paper ini mencoba menjawab dua pertanyaan di atas.
Untuk itu, kami akan membagi paper ini menjadi empat bagian. Bagian pertama sebagai pendahuluan. Pada bagian kedua tentang riwayat singkat, latar belakang pemikiran Hume. Bagian ke tiga konsep Hume tentang pengalaman. Dan bagian keempat merupakan tinjauan kritis dan penutup.
II. Riwayat Hidup dan Latar Belakang pemikiran David Hume
2.1. Riwayat Hidup David Hume
Kehidupan dari seorang filsuf empirisme ini tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang pada jamannya. David Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada tanggal 7 Mei 1711. Ia berasal dari kalangan kaum berjouis. Ayahnya seorang tuan tanah yang kaya dan meninggal ketika hume masih kecil[1]. Semasa menjadi mahasiswa di Universitas Edinburgh, ia lebih meminati studi sastra klasik dan diam-diam memepelajari filsafat. Kegemaranya ini bertentangan dengan keinginan ibunya yang menghendaki studi hukum.
Kehidupan yang ia jalani pernah menjadi pengajar di Universitas Edinburgh, sebagai sekretaris Jenderal St Clair dan menjabat sebagai pustakawan Fakultas Hukum di Edinburgh. Pernah menjadi sekretaris Earl di Paris. Kembali ke kotanya dan meninggal di sana pada tahun 1776.
2.1. Latar Belakang pemikiran David Hume
Pandangan David Hume ini tidak lepas dari Filsuf-filsuf sebelumnya. Maka, ia berusaha menggabungkan empirisme Lock dan Berkeley yang berpendapat bahwa pengetahuan didapat hanya dari persepsi panca indra.[2] Selain ituSelain itu, Hume juga mengkritisi filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.[3] Maka David Hume mengatakan tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Manusia tidak mempunyai pengetahuan. Yang dimiliki manusia hanyalah persepsi panca indra dan perasaan.
III. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
3.1. Pengalaman
Untuk memahami ide dan kesan dalam pandangan Hume, kita harus memahaminya di dalam konteks “pengalaman”. Untuk itu kita harus tahu apa itu pengalaman. Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita, ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki.[4] Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
3.2. Hubungan Ide dan Kesan Menurut Hume
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama, kesan. Kesan adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang. Kedua gagasan. Gagasan adalah pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya.[5] Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume mau mengatakan bahwa pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti: apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu saya’ yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan, yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.[6]
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah dan ini mustahil. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
IV. TINJAUAN KRITIS DAN PENUTUP
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. Konsekuensi dari pandangan Hume ini adalah segalanya menjadi naif, dengan kata lain, segalanya “biarlah terjadi” (let it be).
DAFTAR PUSTAKA
Collinson, Diane, Lima Puluh Para Filsosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: Grafindo,
1998.
Fate Norton, David, The Gambridge Companion to Hume, United States of America: Press
Syndicate of the University of Cambridge, 1993.
Lavine, Thelma Z, David Hume Risalah filsafat Empirisme, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafar Agama (terjm) The Problems of the
Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2003.
Tjahjadi S.P. Lili, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Siswanto Joko, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.
[1] F. Budi Hardiman,Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, hal.85.
[2] Bdk; S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 32-33.
[3] Ibid,.
[4] Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafat (terjm) The Problems of the Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,2003, hal. 201-202.
5Barry Stroud, Hume, London:New Fetter Lane, 1977, hal 18-19.
[6] Bdk; Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.
I. PENDAHULUAN
Kenyataan menunjukkan bahwa pengetahuan manusia itu tidak statis, selalu berkembang. Dan pengetahuan itu diperoleh dengan berbagai cara seperti metode menyangsikan dan pengalaman. David Hume salah seorang filsuf moderen mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman. Apa itu pengalaman? dan bagimana pengalaman itu menghasilkan pengetahuan? Paper ini mencoba menjawab dua pertanyaan di atas.
Untuk itu, kami akan membagi paper ini menjadi empat bagian. Bagian pertama sebagai pendahuluan. Pada bagian kedua tentang riwayat singkat, latar belakang pemikiran Hume. Bagian ke tiga konsep Hume tentang pengalaman. Dan bagian keempat merupakan tinjauan kritis dan penutup.
II. Riwayat Hidup dan Latar Belakang pemikiran David Hume
2.1. Riwayat Hidup David Hume
Kehidupan dari seorang filsuf empirisme ini tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang pada jamannya. David Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada tanggal 7 Mei 1711. Ia berasal dari kalangan kaum berjouis. Ayahnya seorang tuan tanah yang kaya dan meninggal ketika hume masih kecil[1]. Semasa menjadi mahasiswa di Universitas Edinburgh, ia lebih meminati studi sastra klasik dan diam-diam memepelajari filsafat. Kegemaranya ini bertentangan dengan keinginan ibunya yang menghendaki studi hukum.
Kehidupan yang ia jalani pernah menjadi pengajar di Universitas Edinburgh, sebagai sekretaris Jenderal St Clair dan menjabat sebagai pustakawan Fakultas Hukum di Edinburgh. Pernah menjadi sekretaris Earl di Paris. Kembali ke kotanya dan meninggal di sana pada tahun 1776.
2.1. Latar Belakang pemikiran David Hume
Pandangan David Hume ini tidak lepas dari Filsuf-filsuf sebelumnya. Maka, ia berusaha menggabungkan empirisme Lock dan Berkeley yang berpendapat bahwa pengetahuan didapat hanya dari persepsi panca indra.[2] Selain ituSelain itu, Hume juga mengkritisi filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.[3] Maka David Hume mengatakan tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Manusia tidak mempunyai pengetahuan. Yang dimiliki manusia hanyalah persepsi panca indra dan perasaan.
III. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
3.1. Pengalaman
Untuk memahami ide dan kesan dalam pandangan Hume, kita harus memahaminya di dalam konteks “pengalaman”. Untuk itu kita harus tahu apa itu pengalaman. Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita, ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki.[4] Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
3.2. Hubungan Ide dan Kesan Menurut Hume
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama, kesan. Kesan adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang. Kedua gagasan. Gagasan adalah pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya.[5] Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume mau mengatakan bahwa pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti: apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu saya’ yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan, yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.[6]
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah dan ini mustahil. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
IV. TINJAUAN KRITIS DAN PENUTUP
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. Konsekuensi dari pandangan Hume ini adalah segalanya menjadi naif, dengan kata lain, segalanya “biarlah terjadi” (let it be).
DAFTAR PUSTAKA
Collinson, Diane, Lima Puluh Para Filsosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: Grafindo,
1998.
Fate Norton, David, The Gambridge Companion to Hume, United States of America: Press
Syndicate of the University of Cambridge, 1993.
Lavine, Thelma Z, David Hume Risalah filsafat Empirisme, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafar Agama (terjm) The Problems of the
Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2003.
Tjahjadi S.P. Lili, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Siswanto Joko, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.
[1] F. Budi Hardiman,Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, hal.85.
[2] Bdk; S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 32-33.
[3] Ibid,.
[4] Rote, John K, Persoalan-Persoalan Filsafat (terjm) The Problems of the Contemporary Philosophy of Religion, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,2003, hal. 201-202.
5Barry Stroud, Hume, London:New Fetter Lane, 1977, hal 18-19.
[6] Bdk; Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal 55-56.
Rabu, 30 April 2008
ide dan kesan HUME
IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Lucius Tuamanggor
I. PENDAHULUAN
David Hume (1711-1776), seorang filsuf Pencerahan kelahiran Skotlandia, berpandangan bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman. Pandangan ini berseberangan dan merupakan tanggapan atas filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.
David Hume mengatakan “Tidak”. Tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat.
Ide dan kesan dalam pandangan Hume dipakai untuk menjelaskan pengalaman manusia. Setiap pengalaman bersumber dari ide dan kesan. Menjadi pertanyaan khususnya berhubungan dengan motivasi paper secara umum ke arah dualisme, apakah ide dan kesan dapat dipandang sebagai dualisme? Karena secara eksplisit Hume tidak berbicara tentang dualisme, namun demikian kami melihat bahwa ide dan kesan dalam pandangan Hume dapat dijadikan sebagai gagasan untuk memahami dualisme. Jalan pikiran kami mengalir dari maksud dari dualisme itu sendiri yang hendak mengatakan eksistensi dari dua bidang yang mandiri tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melekat dalam diri substansinya. Misalnya; jiwa dan badan. Untuk memahami manusia seutuhnya kita tidak bisa hanya melihat dari badannya saja tanpa memahami jiwa, dan demikian sebaliknya.
Demikianlah juga dalam hal ide dan kesan. Ide dan kesan dua terminologi yang membantu kita untuk memahami pengalaman manusia. Manusia yang memiliki pengalaman, dan pengalaman adalah bagian dari hidup manusia, dan di dalam pengalaman manusia terdiri dari dua unsur yaitu ide dan kesan. Pengalaman tidak bisa dipahami hanya dari ide saja dan tentunya juga dari kesan saja. Bagaimana ide dan kesan dipahami, inilah yang akan kami bahas dalam paper ini.
II. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang.
Jenis pengetahuan kedua adalah gagasan atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya. Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume Pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu dalam hidup kita. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti Apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada ‘masternya’ sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu’ saya yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah; dan ini mustahil. Kita selalu berubah. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
Hume mendasari pernyataan ini pada kepercayaan. Kepercayaan hanya bisa diperoleh dari pengetahuan langsung bersifat kuat, jernih, dan ‘mendalam’. Dia memberikan suatu analogi untuk menjelaskan pernyataannya dari mana seseorang menemukan kepercayaan. Hume mengatakan bahwa saya percaya bahwa api itu panas karena saya pernah menyentuh api dan ternyata memang panas. Saya percaya bahwa salju itu dingin karena saya pernah membaca bahwa salju itu dingin. Kedua jenis ‘percaya’ ini berbeda ‘rasanya’ bagi saya. Yang pertama (api) saya percayai panasnya secara eksistensial; seluruh ‘diri’ saya ikut merasakannya. Sedangkan yang kedua (salju) saya percayai dinginnya secara teoritis; hanya ‘akal’ saya saja yang merasakannya lewat kemampuannya melakukan asosiasi dan analogi. Dalam benak terpikir mungkin dinginnya salju sama dengan es krim atau batu es; tetapi tidak pernah saya percaya seratus persen karena tidak pernah ‘mengalami’ salju secara langsung. Karena seumur hidup belum pernah melihat salju dan menyentuhnya secara langsung, maka kepercayaan saya pada salju yang dingin tidak sekuat kepercayaan saya bahwa api itu panas.
III. TINJAUAN KRITIS
(mari kita lanjutkan bersama.....)
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. (bersambung....)
Lucius Tuamanggor
I. PENDAHULUAN
David Hume (1711-1776), seorang filsuf Pencerahan kelahiran Skotlandia, berpandangan bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman. Pandangan ini berseberangan dan merupakan tanggapan atas filsafat pengetahuan Renè Descartes (1596-1650) yang berpandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan-pengetahuan bawaan yang melekat pada substansinya. Pengalaman hanya mengingatkan kembali apa yang sudah ada dalam rasio.
David Hume mengatakan “Tidak”. Tidak ada pengetahuan apa pun tentang sesuatu sebelum kita mengalaminya. Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat.
Ide dan kesan dalam pandangan Hume dipakai untuk menjelaskan pengalaman manusia. Setiap pengalaman bersumber dari ide dan kesan. Menjadi pertanyaan khususnya berhubungan dengan motivasi paper secara umum ke arah dualisme, apakah ide dan kesan dapat dipandang sebagai dualisme? Karena secara eksplisit Hume tidak berbicara tentang dualisme, namun demikian kami melihat bahwa ide dan kesan dalam pandangan Hume dapat dijadikan sebagai gagasan untuk memahami dualisme. Jalan pikiran kami mengalir dari maksud dari dualisme itu sendiri yang hendak mengatakan eksistensi dari dua bidang yang mandiri tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melekat dalam diri substansinya. Misalnya; jiwa dan badan. Untuk memahami manusia seutuhnya kita tidak bisa hanya melihat dari badannya saja tanpa memahami jiwa, dan demikian sebaliknya.
Demikianlah juga dalam hal ide dan kesan. Ide dan kesan dua terminologi yang membantu kita untuk memahami pengalaman manusia. Manusia yang memiliki pengalaman, dan pengalaman adalah bagian dari hidup manusia, dan di dalam pengalaman manusia terdiri dari dua unsur yaitu ide dan kesan. Pengalaman tidak bisa dipahami hanya dari ide saja dan tentunya juga dari kesan saja. Bagaimana ide dan kesan dipahami, inilah yang akan kami bahas dalam paper ini.
II. IDE DAN KESAN DALAM PANDANGAN HUME
Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecahkan menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah “kesan” (impression) menunjuk pada “semua persepsi kita ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan. Hume menambahkan bahwa semua ide pada dasarnya berasal dari kesan.
Bagaimana kita memahami hubungan antara ide dan kesan? Menurut Hume ada dua jenis pengetahuan yang dibedakan berdasarkan proses perolehannya. Pertama adalah kesan atau pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Pengetahuan yang diperoleh dari kesan ini bersifat jelas, ‘hidup’, dan kuat. Misalnya, pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ yang diperoleh dari menyentuh api secara langsung akan lebih jelas dan kuat ketimbang pengetahuan bahwa ‘api itu panas’ dari buku pelajaran fisika atau cerita orang.
Jenis pengetahuan kedua adalah gagasan atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil mengkaitkan atau menyambung-nyambungkan berbagai kesan dan pengetahuan lain yang telah didapat sebelumnya. Dibandingkan dengan kesan pertama ‘yang begitu menggoda’, pengetahuan yang diperoleh tidak secara langsung dari pengalaman ini tidak sejelas, sehidup, atau sekuat kesan. Gagasan merupakan hasil proses berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan, atau mengkhayalkan. Sebagian besar pengetahuan manusia adalah gagasan. Dalam hal ini pengetahuan kita tentang sesuatu seringkali kabur atau sekadar hayalan saja.
Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Pertama, Hume Pengetahuan yang kita miliki, entah berupa kesan maupun gagasan, merupakan dasar kepercayaan kita pada sesuatu dalam hidup kita. Misalnya kita berbicara tentang pengalaman akan adanya Tuhan. Bagi Hume benar-benar tidak masuk akal bila kita percaya pada Tuhan tanpa tahu apa (atau siapa) Tuhan. Menurutnya pengetahuanlah yang membuat kita percaya. Termasuk percaya pada ‘diri’ kita. Pernyataan di atas disimpulkan lewat beberapa pertanyaan seperti Apakah diri kita sudah ada sebelum kita hidup di dunia? Apakah substansi saya sebagai ‘makhluk berpikir’ sudah ada ‘masternya’ sebelum saya lahir di dunia dan mengalami hidup ini? Saya percaya bahwa ada ‘suatu’ saya yang mendasari kesayaan saya saat ini. ‘Suatu kesayaan’ ini sudah ada, paling tidak ketika kita berada di rahim ibu. Hume menegaskan bahwa Saya punya substansi ke-saya-an saya (substansi) sebagai landasan yang di situ berbagai atribut kesayaan (esensi) melekat.
Pendapat Hume berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh Descartes tentang hakikat ‘saya’ ada dan ia adalah kesadaran yang berpikir (cogito). Hume mengatakan bahwa tidak ada yang namanya ‘hakikat kesayaan’ yang menopang semua atribut atau esensi saya sebagai subjek. Tidak ada hakikat ‘Saya’; yang ada hanyalah serangkaian atau sekumpulan kesan-kesan yang datang silih-berganti dan terus-menerus. Yang ada hanyalah kesan-kesan “Saya yang marah”, “Saya yang sedih”, “Saya yang sakit”, “Saya yang kepanasan”. “Saya yang kedinginan”, “Saya yang lapar”, dst, yang sambung-menyambung menjadi satu. Itulah saya. Semua kesan tentang ‘saya’ tersebut kemudian menjadi sebuah gagasan atau pengetahuan yang mendasari ‘kepercayaan’ terhadap ‘hakikat’ saya sebagai manusia individual. Kesan-kesan yang terkumpul sepanjang hidup melalui jutaan pengalaman itulah, baik langsung maupun tidak, yang membuat kita percaya bahwa ada hakikat atas ‘kesayaan’ saya.
Sejalan dengan pengalamannya, Hume mengatakan manusia berubah. Hanya manusia yang tidak mengalami sesuatu saja yang tidak akan berubah; dan ini mustahil. Kita selalu berubah. Hal ini terjadi karena bertambahnya pengalaman berarti bertambah pula kesan-kesan yang merupakan bahan dasar ‘pembuatan’ ‘kesayaan’ manusia. Karena perubahan itu tidak serta-merta dan terjadi sepanjang waktu, maka seolah-olah ada suatu ‘keajegan’(tetap) yang kemudian dipercaya sebagai substansi.
Kemudian bagaimana dengan pengalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya Tuhan. Semenjak kecil kita dididik untuk percaya pada Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sedari kita bisa bicara. Menurut Hume sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang diajarkan guru agama dan buku-buku.“Tuhan cuma akal-akalannya “akal” dengan kemampuan analogi, asosiasi, dan imajinasinya, akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dari kesan dan gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai Mahakasih, Mahabaik, Mahakuasa, Yang Di Atas, dan sebagainya tiada lain hanyalah pengetahuan teoritis saja atau gagasan.
Hume menambahkan bahwa “gagasan mengenai Tuhan sebagai ‘Ada’ yang Mahatahu, Mahabijaksana, dan Mahabaik muncul dari permenungan atas kegiatan jiwa kita sendiri dan atas gradasi tak terhingga dari sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan”. Jadi kitalah yang menciptakan Tuhan dengan memenyambung-nyambungkan kesan-kesan empiris ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya. Jika kita tidak mengenal ‘baik’, ‘bijaksana’, ‘kasih’, dan sebagainya itu, maka kita tidak akan mempunyai gagasan tentang Tuhan yang kepadaNya kita lekatkan berbagai atribut tersebut.
Hume mendasari pernyataan ini pada kepercayaan. Kepercayaan hanya bisa diperoleh dari pengetahuan langsung bersifat kuat, jernih, dan ‘mendalam’. Dia memberikan suatu analogi untuk menjelaskan pernyataannya dari mana seseorang menemukan kepercayaan. Hume mengatakan bahwa saya percaya bahwa api itu panas karena saya pernah menyentuh api dan ternyata memang panas. Saya percaya bahwa salju itu dingin karena saya pernah membaca bahwa salju itu dingin. Kedua jenis ‘percaya’ ini berbeda ‘rasanya’ bagi saya. Yang pertama (api) saya percayai panasnya secara eksistensial; seluruh ‘diri’ saya ikut merasakannya. Sedangkan yang kedua (salju) saya percayai dinginnya secara teoritis; hanya ‘akal’ saya saja yang merasakannya lewat kemampuannya melakukan asosiasi dan analogi. Dalam benak terpikir mungkin dinginnya salju sama dengan es krim atau batu es; tetapi tidak pernah saya percaya seratus persen karena tidak pernah ‘mengalami’ salju secara langsung. Karena seumur hidup belum pernah melihat salju dan menyentuhnya secara langsung, maka kepercayaan saya pada salju yang dingin tidak sekuat kepercayaan saya bahwa api itu panas.
III. TINJAUAN KRITIS
(mari kita lanjutkan bersama.....)
Hume menjelaskan pengalaman manusia dalam dua unsur yakni ide dan kesan yang dipondasikan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman dan pikiran manusia memiliki asal-usulnya di dalam kesan dari sifat indera. Apa yang hendak dikatakan oleh Hume lewat teori ini? Kita dapat melihat struktur pengalaman tidak pernah dapat memiliki kejelasan yang penuh dan pasti secara absolut mengenai asal-usulnya. Meskipun kita dapat memikirkan kesan inderawi, tetapi kita tidak pernah dapat memperoleh kebenaran yang obyektif dari kesan itu.
Hume membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Kita tahu bahwa para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan termasuk metafisis), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume juga tidak mengenal adanya kausalitas (yang satu disebabkan oleh yang lain), tetapi ia melihat semuanya sudah memang harus demikian. Sehingga tidaklah mungkin ada hukum universal. Hukum yang diperoleh senantiasa bersifat subjektif karena kebenaran pengetahuan hanya diperoleh dari kebenaran pribadi. (bersambung....)
Minggu, 20 April 2008
Relasi Antropologi dan Karya Misis Gereja di Tanah Batak
Relasi Antara Antropologi dan
Karya Misi Gereja Di Tanah Batak
Oleh Lucius Tumanggor
I. Pendahuluan
Masyarakat Batak memiliki enam suku yang berdiam di bagian Utara pulau Sumatra. Keenam suku ini memiliki adat, bahasa dan sistem religi masing-masing. Setiap suku dapat dikatakan otonom dalam budayanya masing-masing. Namun demikian, kesatuan yang universal atas suku-suku ini dapat terjalin dalam sistem kekerabatan dalam marga. Marga sangat berperan untuk memersatukan perbedaan yang ada. Dalam Paper ini akan dibahas relasi antara antropologi dan karya misi Gereja di tanah Batak. Bagaimana gambaran budaya batak secara keseluruhan serta bagaimana Gereja memasuki nilai-nilai budaya yang telah ada, inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam paper ini.
II. Deskripsi (pemahaman akan situasi masyarakat dan Budaya Batak)
Secara antropologis, kita dapat melihat bahwa orang Batak terdiri dari enam suku. Suku itu adalah Batak toba, Simalungun, Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi. Semua suku ini memiliki sistem kelompok yang biasa disebut kekerabatan dalam marga. Marga merupakan identitas setiap pribadi yang membuatnya menjadi satu-kesatuan dalam keluarga. Baik itu keluarga dekat maupun keluarga yang jauh (dalam arti famili). Dengan marga orang dapat memposisikan dirinya dalam adat. Dalam hal ini konsekuensinya yakni setiap orang harus mengetahui dengan baik marganya.
Sebelum kekristenan masuk ke daerah Batak, setiap suku memiliki kepercayaan terhadap nenek-moyang dan yang masih eksis hingga sekarang adalah Parmalim (kepercayaan suku Batak toba). Sesudah kekristenan masuk, orang Batak mayoritas menganut agama Kristen baik itu Protestan maupun Katolik. Sedangkan agama Islam hanya berkembang bagian Selatan Tapanuli (Mandailing).
III. Pandangan Umum Antrpologis Tentang Kemanusiaan Dengan Nilai-Nilai Yang
Dimiliki
3.1. Sistem Geanologi
Salah satu sumber yang berpengaruh dalam kehidupan orang Batak adalah sistem geanologi. Sistem ini biasanya dilihat dalam perkawinan. Dari perkawinan, orang Batak menurunkan marganya sesuai dengan garis genealogis dari ayah. Geneaologi berasal dari bahasa Yunani yakni Genos (family) dan logos yaitu (ilmu/teori). Geneaologi artinya asal-usul atau daftar keturunan nenek moyang atau sejarah keluarga. Dengan marga pula orang Batak menyadari dirinya bersaudara satu sama lain.[1]
3.2. Sistem Hukum secara umum
Dalam budaya Batak maupun dalam tata peradatannya diatur dalam suatu hukum yaitu Dalihan Na Tolu[2]. Pengertian Dalihan Na Tolu secara hurufiah adalah satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Biasanya masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah Dalihan Na Tolu paopat sihal-sihal dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk menyejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal . Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Dalihan Na Tolu adalah falsafah hidup orang Batak yang menunjukkan keterikatan hubungan internal dari ketiga posisi kekerabatan orang Batak dalam bermasyarakat yakni mendoakan setiap orang agar senantiasa “Horas-Horas”: Somba marhula-hula, elek mar Boru, jala Manat mar Dongan Tubu.
Somba marhula-hula artinya senantiasa tunduk dan hormat kepada hula-hula agar horas-horas sedangkan elek mar-Boru senantiasa mengasihi agar mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan. Manat mar-Dongan Tubu artinya agar berhati-hati menjaga ikatan persaudaraan supaya terhindar dari malapetaka atau kutukan dari saudara semarga. Setiap orang Batak adalah Raja. Raja disini tidak ada kaitannya dengan kerajaan, hanya secara umum dipakai dalam acara adat dan kehidupan sehari-hari orang Batak.
Dalam ikatan Dalihan Na Tolu lazim digambarkan dengan bentuk segitiga sama sisi, masing-masing disebut juga: Rajani Hula-Hula, Raja ni Boru, dan Raja ni Dongan Tubu. Laki-laki Batak di dalam bermasyarakat pasti pernah menduduki ketiga posisi Dalihan Na Tolu ini, menjadi hula-hula, boru, atau dongan tubu tergantung pada situasi dan kondisinya saat itu.[3] Berdasarkan Dalihan Na Tolu, kekerabatan orang Batak dibagi dalam tiga bagian yaitu; Hula-Hula (kerabat marga pihak isteri), Dongan Tubu (marga kita, dari garis ayah, kakek dan anak laki), Boru (kerabat perempuan dari ayah, saudara perempuan kita beserta marga suaminya).
3.3. Sistem sosial
Yang dimaksud dalam hal ini adalah sistem yang mengatur relasi dalam masyarakat yakni; relasi antar pribadi dengan pribadi lain maupun dalam suatu marga dengan marga lain[4]. Sistem sosial dalam masyarakat Batak diatur dalam norma-norma adat dan aturan (patik/uhum). Aturan adat sangat berpengaruh untuk kehidupan moral dalam relasinya dengan sesama, dengan Tuhan. Sitem sosial terjadi di kampung dan dalam marga. Kampung merupakan tempat untuk tinggal berbagai marga dan famili. Di dalam kampung biasanya dipimpin oleh pengetua adat atau dalam istilahnya raja huta (raja kampung). Sistem sosial sangat memengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat. Seperti usia (kelahiran), jabatan, penduduk asli, dan perkawinan.[5]
Usia sangat memengaruhi kewajiban seseorang dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Usia itu terdiri dari anak-anak, anak muda (remaja), bapak-bapak/ ibu-ibu (yang sudah menikah tetapi belum tua), dan orang tua (yang sudah berumur tua). Dalam upacara adat biasanya dipimpin oleh orang tua (yang sudah berumur tua), merekalah yang biasanya pemegang keputusan dalam hal-hal adat, maupun dalam menyelesaikan masalah. Yang melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan keputusan tersebut adalah bapak-bapak muda (yang sudah menikah) dan anak muda (doli-doli). Anak-anak biasanya belum masuk dalam hitungan khususnya dalam hal peradatan.
IV. Nilai-nilai yang dimiliki orang Batak[6]
Pandangan orang Batak ada tiga sistem nilai budaya yang menjadi tujuan hidup secara turun-temurun yakni; kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Ketiga nilai ini sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari orang Batak;[7]
Pertama yakni; Hagabeon artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar.
Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur matua bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
Kedua yakni; hasangapon artinya kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan. Ketiga yakni; hamoraon artinya kaya raya. Kekayaan adalah salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak.[8]
V. Karya Misi Gereja dan Sejarahnya di Daerah Batak
Misi kekristenan pertama diawali di daerah Barus.[9] Barus, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya
sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama dikenalkan ke seluruh Nusantara.[10]
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.[11]
VI. Perjumpaan (pertemuan) Iman di daerah Batak dan kebudayaannya
Sebelum perjumpaan iman dengan orang Batak, mereka telah lebih dahulu memiliki kepercayaan kepada Mula Jadi Na Bolon yang diyakini sebagai Allah Pencipta[12] dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Pemujaan dilatarbelakangi oleh pandangan tentang ‘ugama dan ugari’. Ugama adalah hubungan manusia dengan kehidupan spiritual dan yang transenden, sedangkan ugari adalah hubungan manusia dengan kehidupan material, yang dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan adat. Tujuan penghayatan ajaran kepercayaan ugamo Batak adalah menuntun, membimbing hidup dan perikehidupan manusia di dunia dan memperoleh kehidupan abadi di akhirat yang disebut “Hangoluan ni tondi di Banua Ginjang”.[13]
Mula Jadi Nabolon memiliki tiga kuasa yaitu Hahomion (kebijaksanaan), habonaran (kesucian), dan hagogoan (kekuatan). Untuk menghormati ini diadakan upacara dengan sesajen. Melalui sesajen ini orang Batak percaya bahwa akan terjadi pertemuan antara banua atas dan banua toru (bawah). Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memperoleh keselamatan manusia maupun tanaman dan ternaknya.[14]
6.1. Sejarah Singkat Misi kekristenan
Pada tahun 1825 pertama kalinya Misionaris bekerja di Tanah Batak, yaitu Pdt. Ward dan Pdt Burton yang diutus oleh Gereja Baptis Inggris. Tahun 1829, terjadi Perang Bonjol. Tuanku Rao menyerang bangsa Batak, dan pada 1834, Pdt Samuel Munson dan Pdt Henry Lyman diutus Bandan Zending Boston, Amerika Serikat menginjili di tanah Batak. Kedua Missionaris tsb mati martir di Lobu Pining (Tapanuli Utara). Pada tahun 1861, misionaris Protestan dari Rheinische missiongesellschaft mengawali pewartaan Injil di tanah Batak khususnya di bagian Tapanuli Utara. Pada tahun 1878 Katolik masuk dan mendirikan paroki di Medan. Dari sana para misionaris meneruskan misinya ke tanah Batak.[15] Hampir 90% orang Batak menjadi orang Kristen.
Menurut para ahli, agama Kristen diterima karena orang Batak melihat “etika” berdasarkan kepercayaan lama yang terkait dengan adat tidak bertentangan dengan kehidupan sebagai pemeluk agama Kristen. Mereka berpandangan bahwa untuk memperoleh hidup yang kekal adalah dengan menganut agama Kristen, sedang dengan menata sistem masyarakat sehari-hari adalah adat.[16]
VII. Relasi Antropologi Dengan Karya Misi Gereja Secara Khusus Katolik
7.1. Dari segi antropologi
7.1.1. Religiusitasnya
Batak tradisional mengenal seorang Allah Pencipta dari semesta alam. Nama Allah nasional Batak ini adalah Mulajadi Nabolon, artinya “Allah Pemula Alam semesta.” Rumusan nama ini dikatakan Ompu Raja Mulamula, Ompu Raja Mulana; Ibana do nampuna sude na tinompana; na ro sian si so marmula, ndang binoto nang unungna; na so olo mahua, na so tumanda mara. (“Empu Raja Mulamula, empu asal-muasal; Dia yang empunya segala ciptaan miliknya; yang berasal dari yang tanpa mula, akhirnya tak dinyana; yang tak jemah tua dan tak kenal bahaya”). Singkatnya: Mulajadi Nabolon adalah khalik semesta alam; Dialah Alfa dan Omega. Tentang paham ini, Batak tidak membutuhkan tambahan pemahaman.[17]
7.1.2. Nilai-nilai yang dikejar (misi orang Batak)
Orang Batak memiliki nilai budaya yang harus dikejar dalam kehidupan sehari-harinya yakni; hagabeon, hasangapon, dan hamoraon. Pengertian ketiga ini dapat dilihat dalam penjelasan di atas tentang nilai-nilai yang dimiliki orang Batak.
7.1.3. Norma-norma atau aturan adat
Norma-norma atau aturan adat dalam kehidupan dan interaksi orang Batak tercantum dalam falsafah Dalihan Na Tolu dalam tiga subjek yaitu: hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ketiga ini disatukan dalam satu ungkapan “somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru”. Relasi dari ketiga ini tidak terpisahkan satu sama lain karena memiliki kesatuan yang kokoh sebagaimana dalam gambaran segitiga sama sisi. Untuk lebih jelasnya lihat penjelasan di atas mengenai sistem hukum seacara umum.
7.2. Dari segi karya misi Gereja
Gereja diutus untuk melaksanakan pemakluman kabar gembira keselamatan yang telah dibawa Yesus Kristus. Kerajaan Allah telah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Mrk 1. 15). Pewartaan kabar gembira mempunyai tujuan untuk memertemukan umat manusia dengan Kristus Sabda Allah yang menjadi manusia. Melalui Kristus kerajaan Allah menerobos masuk ke dalam dunia secara definitif dan tidak dapat ditarik kembali.[18]
Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Ia menjadi penebus seluruh umat manuia. Berkat Dialah kita melihat arti keselamatan yaitu diterima dengan penuh kasih oleh Allah, Abba kita, agar kita menjadi umat yang diubah sesuai dengan model Yesus Kristus. Inilah kabar Gembira bagi manusia yang harus diwartakan oleh Gereja yaitu keselamatan dalam Kristus. Keselamatan itu diwartakan kepada semua orang.[19]
VIII. Misi Gereja dalam Habatakon[20]
Kita mengetahui dengan jelas bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Mulajadi Nabolon dan Allah Tritunggal Mahakudus Kristen. Pertama adalah bahwa Allah orang Kristen adalah Allah yang Mahamurah dalam soal penebusan: Allah Bapa membiarkan Putra-Nya Yesus Kristus menjelma menjadi manusia untuk menebus dunia. Tidak ada ide penjelmaan dalam Habatakon. Tidak ada pula artikel iman bahwa Allah putra wafat dan bangkit. Ide kebangkitan sama sekali kosong dalam paham Batak, sehingga teologi penyelamatan Kristen jauh lebih kaya dari ide Allah dalam Habatakon.[21]
Karena ketiadaan ide penebusan ini, maka Batak menjadi sipelebegu, pemuja roh-roh, pemujaan Allah menjadi samar, kendati tidak pernah hilang. Kenyataan keimanan ini fatal, sebab menjerumuskan penganut agama Batak ke dalam agama begu (“roh-roh/ hantu”) dan kecemasan. Dimana-mana terdapat begu yang mengintip hidup manusia, ini dipahami karena tidak terdapat ide mengenai penebusan, pembebasan dan penyelamatan. Ide mengenai kebangkitan dan kebahagiaan surga adalah hampa.[22]
8.1. Letak relasi keduanya
Bagaimana kekristenan mencangkokkan dirinya di atas adat/aturan Batak ini? Kekristenan masuk dengan metode inkulturasi. Pertama ialah dengan melakukan prinsip bahwa keselamatan bukan lagi berasal dan berlandaskan patik/uhum atau peraturan-peraturan adat, melainkan pada cinta penebusan Allah dalam putra-Nya Yesus Kristus. Nasib manusia, di atas bumi dan akhirat samasekali tergantung kepada-Nya, yang membawa keselamatan jiawa-raga. Lewat wafat dan kebangkitan-Nya. Inilah pembebasan agung dari Yesus Kristus bahwa: Hamatean pandelean ni na so mar-Tuhan-i; hamatean parhitan lao manopot surgoi. (“ kematian putus asa bagi orang yang tak ber- Tuhan; kematianlah jembatan untuk mencapai surga”).[23]
Dengan prinsip ini terbukti bahwa Batak sipelebegu, mati digoda oleh begu numur dsb, menjadi agama ketakutan dan akhirnya agama keputusasaan (lungkas ni hosa), agama kedamaian (dame na sumurung), agama keceriaan (kabar gembira) agama pengharapan. Ai nungga talu hamatean di bahen Tuhan Jesus i, hangoluando dilean lao manopot surgo i. (maut sudah ditaklukkan oleh Tuhan yesus; dibawa-Nya kehidupan mewarisi surga). Inilah motif utama masuknya Batak menganut kekristenan.
Kedua ialah memilih titik-titik praktis inkulturasi. Terutama dalam biadang ritus penyucian, seperti pangurason, parpangiron, parpeleanon, diambil inti patinya menjadi misalnya, air kudus Katolik, pelean horbo bius ditingkatkan pada paham ekaristi, dsb. Selalu dengan “membabtis” paham Batak menjadi paham kristen, sehingga sungguh menjadi iman kristen sejati. Hal-hal yang netral, seperti gondang, tanpa kesulitan dapat diakomodasi, tentu setelah memolesnya sehingga tidak canggung bagi liturgi katolik yang anggun. Yang diinkulturasikan diambil dari segi yang serasi dan berpadanan dengan kekristenan.
Ketiga ialah pembentukan “citarasa katolik” (sensus catholicus) dalam keseluruhan corak hidup dan penghayatan di kalangan Batak. Sensus catholicus itu akan membuat saringan sendiri, mana yang tepat dan mana yang kurang tepat dalam inkulturasi. Disitulah yang akan terasa terungkap bahwa orang 100% katolik dan 100% Batak, sebab mengakar pada tradisi dan budayanya, dan sungguh menganut kekatolikan. Dalam tahapan ini, seorang akan sangat cinta iman dan Gereja-Nya, dan menganggapnya sebagai ungkapan diri yang penuh, sehingga ia tidak gampang bertukar agama. Disitu dia yakin bahwa apa yang dalam meraba-raba diupayakan kepada dan mendapat kepenuhannya dalam Gereja.[24]
IX. Refleksi Kritis dari Penulis
Refleksi ini akan diawali dari suatu pertanyan; mengapa orang Batak begitu getol dan melekat kepada adat Dalihan Na Tolu ini, seolah-olah mengingkarinya akan mendatangkan kiamat ke masyarakat? Dapat dikatakan karena adat Dalihan Na Tolu termasuk dalam artikel iman dan penentu hidup matinya eksistensinya Batak di atas bumi menurut artikel iman itu. Dalam artikel iman itu dikatakan Mulajadi Nabolon mencipta Allah Timurty, yakni Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan.
Diakui oleh hampir semua Batakologi bahwa, dengan mendasarkan Allah Trimurty, ditetapkan stelsel habatakon Dalihan Na Tolu. Ketiga pribadi yakni; Dewata Batara Guru, Soripada dan Manggala Bulan disebut “na tolu suhu, na tolu harajaon” (tiga suku dan tiga kerajaan). Di situlah diakui kehadiran dan fungsi-fungsi khas dari tiga puak, tiga kelompok, tiga tata kerajaan. Dalam Habatakon Dalihan Na Tolu, secara lebih mendasar diberlakukan pantun hangoluan, tois hamagoan (menjalankan aturan adat adalah kehidupan, mengabaikannya adalah kehilangan pegangan atau mati).[25]
9.1. Hubungan Dalihan Na Tolu dan Gereja
Apa hubungan dan manfaat dari Adat Dalihan Na Tolu dengan Gereja? Bagi seorang Batak tradisional, adat haBatakon Dalihan Na Tolu adalah sangat mendasar dan bersifat mutlak. Ia tidak dapat dianggap sebagai kebetulan atau sembarang adat yang dapat dikesampingkan begitu saja. Adat Dalihan Na Tolu, yakni Somba marhulahula, hormat mardongan tubu, jala elek marboru termasuk inti mutlak dari umpama pantun hangoluan, tois hamagoan. Karena itu, celakalah orang yang tidak mematuhi Adat Dalihan Na Tolu ini dalam melaksanakan perkawinannya, sebab akan terkutuk oleh Allah.
Misalnya yang kawin semarga harus diusir dari kampung agar kampung itu tidak binasa.
Mula jadi Na bolon yang menciptakan triade Dalihan Na Tolu memberikan harapan bagi Gereja untuk mempesiapkan hukum pernikahan bagi persyaratan perkawinan kekristenan. Menyusul persyaratan untuk pernikahan monogami. Dalam umpasa dikatakan: “si dangka ni arirang, arirang ni pulau batu; naso tupa sirng, naung ho saut di ahu; naso tupa marimbang, sai hot tondi dijabu.” (cabang mayang, mayang dari kampung pulo batu; tak jemah berpisah sekalipun kau jadi istriku; tak jemah berpoligami sebab atma tetap di rumah). Peribahasa ini bukan saja menegaskan bahwa ideal pernikahan adalah monogami, tetapi juga pernikahan yang lestari sampai mati.
Kendati dengan segala kecermatan, stelsel Dalihan Na Tolu, terutama paham triesa Dewata trimurti, yakni Batara guru, Soripada dan Mangala Bulan, dapat dijadikan “ bahan baku” untuk memahami misteri Allah Tritunggal, yakni Allah yang Esa dalam diri, Allah Tritunggal, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tetapi serentak harus ditegaskan dengan cermat: Dewata Trimurti adalah ciptaan Mulajadi Nabolon. Kekudusannya hanya lewat kepadatan sahala (numen, theion). Hubungan antara Dewata trimurti dengan Mulajadi Nabolon harus dipahami sebagai hubungan pencipta dengan ciptaan, sang Khalik dan khalikah.
9.2. Realitas Masyarakat Sekarang
Untuk sekarang ini, adat habatakon lebih dikenal oleh masyarakat Batak dan masyarakat luas lewat pernikahan. Dalam perkawinan ini orang Batak mengenal ciri Batak. Dalam perkawinan ini adat Batak Dalihan Na Tolu, yakni Hulahula, Boru dan Dongan Tubu harus dihadirkan dan difungsikan secara utuh. Memang adat Dalihan Na Tolu inilah poros dan tumpuan kehidupan adat habatakon. Jika seorang Batak tidak lagi melaksanakan adat Dalihan Na Tolu, maka itulah pertanda ia melangkah keluar dari lingkaran habatakon. Dengan kata lain, ia kehilangan jati dirinya sebagai orang Batak.
X. Penutup
Kita telah mendalami nilai-nilai budaya yang tercantum dalam habatakon dalam persfektif antopologi, dan bagaimana karya misi Gereja masuk ke dalamnya. Penulis menyimpulkan bahwa antropologi dan karya misi Gereja kiranya tidak dapat disangkal bahwa keterjalinan kedua kutub itu berjalan secara erat dan intim, sehingga sulit menarik garis lurus yang jelas kesimpulannya. Namun distingsi dapat dibuat lewat pendasaran inkulturasi sehingga keduanya tetap otonom di dalamnya.
[1] A. Goodliver manik, Evangelisasi dan Inkulturasi Dalam Konteks Masyaarakat Batak Toba, Malang; STFT Widya Sasana, 1995, hal 20.
[2] (http://www.Batakonline.com/archive/index.php/t-86.html), diakses 11 Mei 2007.
[3] Ibid,.
[4] Bungaran Anthonius Simandjuntak, Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta; Jendela, 2002, hal, 93.
[5] J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta; LkiS, 2004, hal, 132.
[6] (http://saroha.wordpress.com/tag/uncategorized), diakses 18 mei 2007.
[7] Agustinus Goodliver Manik, Opcit, hal 39-40.
[8] (http://saroha.wordpress.com/tag/uncategorized/), diakses 18 Mei 2007.
[9] Dr. Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal, 60.
[10] (http://humbahas.blogspot.com/2006/07/kota-hatorusan-barus.html), diakses 18 mei 2007.
[11] Ibid,.
[12] Dr. Anicetus B. Sinaga, Dendang Bakti Inkulturasi Teologi dalam Batak, Medan; Bina Media, 2004, hal,1.
[13] Ibid,.
[14] Drs. DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV. Armanda, 1992, hal, 54-55.
[15] Dr. Huub J.W.M. Boelaars, Opcit, hal, 80.
[16] (http://my.opera.com/raja%20batak/blog/?startidx=2), diakses 10 Mei 2007.
[17] Dr. Anicetus B. Sinaga , Ibid, hal, 21-22.
[18] KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yokyakarta: Kanisius, 1996, hal, 382-383.
[19] KWI, Ibid, hal, 243.
[20] Habatakon adalah suatu istilah yang kerap digunakan oleh Anicetus Sinaga untuk menekankan keseluruhan nilai-nilai yang tertanam dalam adat Batak (unsur-unsur dalam adat Batak itu sendiri). Secara hurufiah , haBatakon diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia yaitu “ke-Batak-an”. Tetapi istilah kebatakan tidak begitu tepat untuk menekankan “habatakon”.
[21] Antoni Pasaribu, Menebar Kasih di Tanah Persingahan; Agama Dan HaBatakon Surabaya: (12 Mei 2007), IKKSU, hal 4.
[22] Ibid,.
[23] Ibid,.
[24] Dr. Anicettus B. Sinaga, Opcid, hal 229-232.
[25] Antoni Pasaribu, Opcit, hal, 5.
Sindikalisme-Anarkis Vs Persahabatan Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia
Sindikalisme-Anarkis Vs Persahabatan
Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia
Otoritas keamanan tidak ingin lagi keributan sepak bola merusak ibu kota. Karena itu, Polda Metro Jaya mencabut izin Liga final Liga Indonesia (Ligina) XIII. Izin tersebut dicabut menyusul jatuhnya korban tewas Fathul Mulyadin dalam pertandingan semifinal Rabu lalu (6/2). Fathul adalah pendukung Persija yang meninggal secara mengenaskan dan diduga akibat perkelahian antarsuporter, (Jawa Pos, sabtu 9/2, 2008, hlm.I).
Keputusan otoritas keamanan ini adalah suatu jawaban bagi mereka yang menganut sindikalisme. Sindikalisme merupakan aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Sindikalisme memakai prinsip “aksi langsung”: melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum. Sindikalisme setia pada akar-akarnya yang anarkistik. Sindikalisme menemukan pasangannya dalam anarkisme yang disamakan dengan tindak kekerasan dan pembunuhan. Tokoh yang terkenal dalam anarkisme adalah Mikhail Bakunin (1814-1876).
Kita telah menyaksikan terjadinya sindikalisme-anarkis dalam berbagai pertandingan sepak bola di tanah air kita. Pemukulan terhadap wasit secara spontan di lapangan, perkelahian antarpemain sendiri, serta perkelahian antarsuporter hingga kehilangan nyawa sebagai mana baru-baru ini adalah bukti kuat akan hal ini.
Ada kesan bahwa pentas olah raga sepak bola seperti menjadi tempat antarkelompok untuk mengadakan perang. Mengapa ada perang? Bersama Hobbes, Imanuel Kant berpendapat bahwa manusia berasal dari dunia hewan. Pada awal mula, ia hidup pada taraf yang masih rendah serta primitif, nyaris hewani. Pada waktu itu sama sekali belum terdapat suatu masyarakat yang teratur, dengan semacam kode hukum. Di situ kekuasaan lebih penting dari hukum dan kekuasaan itu dipegang oleh orang yang paling kuat. Maka tidak dapat dielakkan, di antara manusia segera timbul suatu keadaan perang dari semua lawan semua. Warga desa berkelahi dengan warga desa lain, klen dengan klen, kelompok dengan kelompok, suku dengan suku karena mereka belum mengakui orang lain sebagai sesama manusia.
Untuk mengarisbawahi kegilaan perang, Kant mengutip Hume yang menulis: “bila saya melihat dua kelompok sedang berperang, maka kesan saya seolah-olah dua orang mabuk menghantam satu sama lain dengan pentungan di dalam toko sehingga barang-barang pecah-belah dan berantakan. Bukan hanya membutuhkan waktu banyak demi kesembuhan belur mereka, tetapi mereka juga harus mengganti kerusakan yang diakibatkan ulah mereka sendiri”.
Seorang filsuf Perancis – Emmanuel Levinas – secara haru melukiskan sifat-sifat perang yang tidak manusiawi dan tidak bermoral. “perang mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan,” katanya. Dalam perang, kata-kata dan gambaran-gambaran yang tadinya menyelubungi kenyataan dihancurkan dan terbersitlah realitas menurut seluruh kepolosannya. Kedoknya tersingkap. Namun, barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peran-peran di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan menghianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Individu dan persona didorong oleh daya-daya amoral, dan sering imoral, yang menandai totalitas.
Mana kala kita mendengar, membaca akan adanya pertandingan sepak bola, pikiran kita dibayangi oleh kecemasan “apa yang akan terjadi”. Kecemasan ini menghantar kita pada pemahaman bahwa sepak bola seolah-olah menjadi seram, “pembawa mala petaka”. Nyala api yang berkobar-kobar di Stadion, rusaknya peralatan-peralatan stadion (seperti di Kediri baru-baru ini), para sporter yang masuk ke lapangan, menunjukkan “mala petaka”, minimal untuk mereka yang merasa dirugikan.
Sepak bola dalam dirinya sendiri (in se) adalah baik. Sepak bola adalah permainan yang penuh dengan seni. Ia menjadi lambang dari perjuangan manusia untuk meraih cita-cita dalam suatu tatanan yang lengkap dengan aturan/hukumnya. Dia adalah seni yang mengandung unsur-unsur keindahan, kebersamaan, sosial (socius = sahabat) bagi yang lain, semuanya saling melayani. Dalam sepak bola disatukan semua hati, perasaan, pikiran demi suatu kesuksesan atau kebahagiaan bersama.
Sangatlah aneh rasanya karena sindikalisme-anarkis merasuk di dalam pertandingan sepak bola. Permainan sepak bola dari essensinya berubah total. Dari yang baik menjadi buruk alias tidak ada lagi seninya. Sindikalisme-anarkis adalah musuh utama dari persahabatan dalam dunia persepakbolaan. Persahabatan hancur karena sindikalisme-anarkis masih merasuki pikiran manusia. Tewasnya Fathul Mulyadin karena pertikaian antarsporter adalah salah satu bentuk sindikalisme-anarkis. Namun, bagi orang yang mengerti nilai-nilai dalam sepak bola, dengan sendirinya ia akan menghindari sindikalisme-anarkis. Karena dalam pertandingan sepak bola ditemukan makna yang paling dalam yakni persahabatan.
Apa itu persahabatan? Kita dapat belajar dari seorang filosof dari dunia Islam bagian Timur yakni, Miskawaih (350 H – 421H) yang mengatakan bahwa “ persahabatan merupakan hal yang paling suci dan bermanfaaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain merupakan teman baginya, ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat. Orang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Mari kita jadikan sepak bola sebagai zona persahabatan.
Fr. Lucius T.
Mahasiswa Filsafat Widya Sasana-Malang.
Pemerhati Sepak Bola ST SW, Malang.
Dalam Dunia Sepak Bola Indonesia
Otoritas keamanan tidak ingin lagi keributan sepak bola merusak ibu kota. Karena itu, Polda Metro Jaya mencabut izin Liga final Liga Indonesia (Ligina) XIII. Izin tersebut dicabut menyusul jatuhnya korban tewas Fathul Mulyadin dalam pertandingan semifinal Rabu lalu (6/2). Fathul adalah pendukung Persija yang meninggal secara mengenaskan dan diduga akibat perkelahian antarsuporter, (Jawa Pos, sabtu 9/2, 2008, hlm.I).
Keputusan otoritas keamanan ini adalah suatu jawaban bagi mereka yang menganut sindikalisme. Sindikalisme merupakan aliran paling radikal gerakan buruh sebelum Perang Dunia I. Sindikalisme memakai prinsip “aksi langsung”: melalui pemboikotan, sabotase, pemberontakan, dan pemogokan umum. Sindikalisme setia pada akar-akarnya yang anarkistik. Sindikalisme menemukan pasangannya dalam anarkisme yang disamakan dengan tindak kekerasan dan pembunuhan. Tokoh yang terkenal dalam anarkisme adalah Mikhail Bakunin (1814-1876).
Kita telah menyaksikan terjadinya sindikalisme-anarkis dalam berbagai pertandingan sepak bola di tanah air kita. Pemukulan terhadap wasit secara spontan di lapangan, perkelahian antarpemain sendiri, serta perkelahian antarsuporter hingga kehilangan nyawa sebagai mana baru-baru ini adalah bukti kuat akan hal ini.
Ada kesan bahwa pentas olah raga sepak bola seperti menjadi tempat antarkelompok untuk mengadakan perang. Mengapa ada perang? Bersama Hobbes, Imanuel Kant berpendapat bahwa manusia berasal dari dunia hewan. Pada awal mula, ia hidup pada taraf yang masih rendah serta primitif, nyaris hewani. Pada waktu itu sama sekali belum terdapat suatu masyarakat yang teratur, dengan semacam kode hukum. Di situ kekuasaan lebih penting dari hukum dan kekuasaan itu dipegang oleh orang yang paling kuat. Maka tidak dapat dielakkan, di antara manusia segera timbul suatu keadaan perang dari semua lawan semua. Warga desa berkelahi dengan warga desa lain, klen dengan klen, kelompok dengan kelompok, suku dengan suku karena mereka belum mengakui orang lain sebagai sesama manusia.
Untuk mengarisbawahi kegilaan perang, Kant mengutip Hume yang menulis: “bila saya melihat dua kelompok sedang berperang, maka kesan saya seolah-olah dua orang mabuk menghantam satu sama lain dengan pentungan di dalam toko sehingga barang-barang pecah-belah dan berantakan. Bukan hanya membutuhkan waktu banyak demi kesembuhan belur mereka, tetapi mereka juga harus mengganti kerusakan yang diakibatkan ulah mereka sendiri”.
Seorang filsuf Perancis – Emmanuel Levinas – secara haru melukiskan sifat-sifat perang yang tidak manusiawi dan tidak bermoral. “perang mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan,” katanya. Dalam perang, kata-kata dan gambaran-gambaran yang tadinya menyelubungi kenyataan dihancurkan dan terbersitlah realitas menurut seluruh kepolosannya. Kedoknya tersingkap. Namun, barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peran-peran di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan menghianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Individu dan persona didorong oleh daya-daya amoral, dan sering imoral, yang menandai totalitas.
Mana kala kita mendengar, membaca akan adanya pertandingan sepak bola, pikiran kita dibayangi oleh kecemasan “apa yang akan terjadi”. Kecemasan ini menghantar kita pada pemahaman bahwa sepak bola seolah-olah menjadi seram, “pembawa mala petaka”. Nyala api yang berkobar-kobar di Stadion, rusaknya peralatan-peralatan stadion (seperti di Kediri baru-baru ini), para sporter yang masuk ke lapangan, menunjukkan “mala petaka”, minimal untuk mereka yang merasa dirugikan.
Sepak bola dalam dirinya sendiri (in se) adalah baik. Sepak bola adalah permainan yang penuh dengan seni. Ia menjadi lambang dari perjuangan manusia untuk meraih cita-cita dalam suatu tatanan yang lengkap dengan aturan/hukumnya. Dia adalah seni yang mengandung unsur-unsur keindahan, kebersamaan, sosial (socius = sahabat) bagi yang lain, semuanya saling melayani. Dalam sepak bola disatukan semua hati, perasaan, pikiran demi suatu kesuksesan atau kebahagiaan bersama.
Sangatlah aneh rasanya karena sindikalisme-anarkis merasuk di dalam pertandingan sepak bola. Permainan sepak bola dari essensinya berubah total. Dari yang baik menjadi buruk alias tidak ada lagi seninya. Sindikalisme-anarkis adalah musuh utama dari persahabatan dalam dunia persepakbolaan. Persahabatan hancur karena sindikalisme-anarkis masih merasuki pikiran manusia. Tewasnya Fathul Mulyadin karena pertikaian antarsporter adalah salah satu bentuk sindikalisme-anarkis. Namun, bagi orang yang mengerti nilai-nilai dalam sepak bola, dengan sendirinya ia akan menghindari sindikalisme-anarkis. Karena dalam pertandingan sepak bola ditemukan makna yang paling dalam yakni persahabatan.
Apa itu persahabatan? Kita dapat belajar dari seorang filosof dari dunia Islam bagian Timur yakni, Miskawaih (350 H – 421H) yang mengatakan bahwa “ persahabatan merupakan hal yang paling suci dan bermanfaaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain merupakan teman baginya, ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat. Orang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Mari kita jadikan sepak bola sebagai zona persahabatan.
Fr. Lucius T.
Mahasiswa Filsafat Widya Sasana-Malang.
Pemerhati Sepak Bola ST SW, Malang.
Langganan:
Postingan (Atom)