Kamis, 21 Januari 2010

GABRIEL MARCEL (1889-1973)

GABRIEL MARCEL (1889-1973)
oleh: Lucius Tumanggor

I. PENGANTAR
Gabriel Marcel adalah seorang filosof berkebangsaan Perancis. Dia dikenal sebagai pemain drama dan komposer musik. Dalam gagasan filosofisnya, banyak orang mengatakan bahwa Gabriel Marcel adalah seorang eksistensialis dan dekat dengan kaum personalis. Mengapa Ia dikenal demikian? Karena ia menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Dalam pemahamannya, filsafat dikarakterisasi pada sebuah perasaan tragis manusia, tetapi juga sebuah pengharapan dan misteri ada. Pada tahun 1929 Ia bergabung dengan Gereja Katolik Roma. Walaupun demikian, dia bukanlah seorang Thomistik, melainkan tetap mendekatkan diri pada kaum eksistensialis dan personalis. Setelah tahun 1949, ia terang-terangan menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik dan menegaskan mengenai karakter berpikir filofisnya yang adalah terbuka dan dialogis.
Paper ini akan berbicara tentang bagaimana Gabriel Marcel menggagas filosofisnya dalam jati diri manusia itu sendiri. Kami akan membahas secara ringkas apa, dan bagaimana pemikirannya menyentuh pengalaman hidup manusia itu sendiri. Kemudian, kita akan menarik gagasannya ini dalam situasi konkret hidup yang kita lalui setiap hari dalam sebuah relevansinya. Maka setelah mengkaji suatu relevansi yang ada ini, kita menyimpulkan kajian kita ini dalam penutup paper ini. Hal inilah yang akan menghiasi jalan pikiran paper ini.

II. PEMIKIRAN FILOSOFIS GABRIEL MARCEL
Di atas kita telah mengetahui bahwa karakter berfilsafat Marcel sifatnya terbuka dan dialogis. Terbuka dan dialogis hendak mengatakan bahwa filsafat pada dasarnya adalah ilmu yang siap dan terbuka untuk didiskusikan dan didialogkan dalam kehidupan konkret demi sebuah urgensi atau keperluan ada. Marcel menolak filsafat sebagai suatu sistem. Sistematisasi mau tidak mau akan mematikan pemikiran yang hidup. Pernyataan ini menghantar kita untuk mengerti mengapa setelah tahun 1949 ia menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik? Kemungkinan besar bahwa dengan nama itu ia hendak menjadikan dirinya sebagai seorang yang senantiasa sedang mencari dan bertanya-tanya bukan untuk mensistematisasi filosofis dalam bentuk baku.
2.1. Arah Dan Metode Filosofis Marcel
Salah satu yang mengagumkan bagi kita tentang pemikiran filosofisnya adalah metode. Metode filosofis yang ditawarkan oleh Marcel adalah pengertian akan pengalaman dan pemikiran. Dalam metode ini, penulis coba memahami bahwa pengalaman dan pemikiran adalah dua realitas yang berada dalam satu identitas dalam diri Marcel sendiri. Maksudnya, ketika Marcel menyebut pengalaman, tentu ini hendak menyebut dirinya sebagai seorang dramawan atau seorang pengarang drama atau komposer musik. Demikian juga halnya saat dia menyebut pemikiran, ia hendak menyebut diri sebagai seorang filosof. Filsafat (pemikiran) dan drama/komposer musik (pengalaman) adalah dua realitas hidup yang harus didialogkan dan terbuka untuk didiskusikan demi kehidupan konkret manusia itu sendiri.
Untuk sampai pada arah dan metode filosofisnya, kita perlu mengawalinya dari sebuah pertanyaan, mengapa seorang Marcel ditampilkan seorang filsuf dan serentak juga sebagai pengarang drama/komposer musik? Pertanyaan ini menyimpan suatu makna yang tersembunyi. Dalam pemahaman penulis, drama dan filsafat bukanlah dua aktivitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang mesra dalam jiwa seseorang, dalam hal ini adalah jiwa Marcel sendiri. Di dalam diri Marcel terdapat kesatuan erat antara filsafat dan seni drama, karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memahami siapakah sebenarnya manusia. Drama sangat membantu manusia untuk mendekati keadaan hidup yang konkret.
Hubungan drama dan filsafat (hubungan pengalaman dan pemikiran) langsung menjadi jelas, bila kita melihat pernyataan Marcel sebagai berikut: Pikiran awalnya berada dalam pengalaman, dan kehadiran filsafat adalah mentransmisi pengalaman ke dalam pikiran (“ though takes its beginning in immediate experience, and Marcel declares philosophy to be experience transmuted in to thougt”). Drama (pengalaman) dapat menjadi sarana istimewa untuk menengahi pemikiran (filsafat) dalam kehidupan manusia secara konkret.
2.2. Peralihan Dari Eksistensi Manusia Menuju/Mengacu Pada Ada yang Transenden
Refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia objektif dan menuju/ mengacu pada ada yang transenden. Bagi Marcel seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen. Pertanyaan kita: apa itu eksistensi? Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan obyektivitas. Eksistensi tidak pernah dapat dijadikan obyektivitas. Eksistensi adalah pengalaman konkret “saya” sebagai subyek dalam dunia. Dengan kata lain, eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor konkret yang menandai hidup “saya”. Marcel mengatakan bahwa refleksi filosofis konkret bisa dikatakan peralihan dari eksistensi manusia melalui dunia obyektif dan menuju pada ada yang transenden. Atau kita bisa mengatakan bahwa eksistensi (“saya”) harus menuju ke Ada.
Dalam refleksi filosofis selanjutnya, peralihan itu ditandai dengan fase kekaguman, refleksi dan eksplorasi. Bagi Marcel, filsafat berawal mula dari suatu kekaguman atau keheranan yang sifatnya eksistensial dan bukan rasional apalagi ilmiah. Kita mulai merasa heran tentang kenyataan, khususnya tentang diri kita sendiri, dan lebih khusus lagi tentang inkarnasi, artinya situasi “saya” sebagai makhluk bertubuh yang terjalin dengan kosmos. Namun, dengan mengagumi saja, kita belum berfilsafat. Refleksi merupakan suatu fase hakiki dalam filsafat. Tidak pada tempatnya bila orang memertentangkan refleksi dengan kehidupan dan dengan demikian menciptakan suatu dilema. Marcel dengan tegas menolak rasionalisme, tetapi itu tidak berarti pula bahwa ia memihak anti-intelektualisme. Menurut dia, dalam refleksi kita harus membedakan dua tahap: refleksi pertama dan refleksi kedua.
Refleksi pertama mempunyai ciri sebagai berikut: abstrak, analitis, obyektif, universal, dapat diverifikasi. Refleksi ini dilangsungkan dalam ilmu pengetahuan. Tetapi filsafat tidak boleh berhenti di situ. Refleksi pertama ini berperan juga dalam filsafat, tetapi tidak sebagai titik akhir (Marcel does not deny the importance of primary reflection in science, but he refuses to accept such reflection as final or normative for all thinking).
Refleksi kedua tidak mengobyekkan tetapi berlangsung berdasarkan partisipasi atau berlangsung dalam suasana permenungan. Refleksi kedua tidak berbicara tentang obyek-obyek tetapi tentang kehadiran. Refleksi kedua tidak mementingkan pendekatan logis, tetapi mengusahakan pendekatan dialogis. Refleksi kedua ini berlangsung dalam konteks “persona”. Hanya melalui jalan ini filsafat dapat mencapai Ada yang sebenarnya, yang tersembunyi bagi “pemikiran obyektif”.
Refleksi ketiga adalah eksplorsi. Dalam fase ini “saya” mengakui bahwa “saya” mengambil bagian pada Ada. Di sini “saya” menerima secara bebas realitas di mana “saya” berada, termasuk juga diri “saya” sendiri. Sekarang kita sudah mengerti lebih baik bagaimana Marcel berangkat dari kehidupan dan akhirnya kembali lagi pada kehidupan. Dia juga pernah berkata bahwa bagi seseorang yang melewati cara/jalan refleksi ini tidak perlu menjadi Kristen karena Marcel percaya bahwa sebuah filsafat konkret /nyata secara magnetik telah mengarah kepada kehidupan kristianitas. Bagi Marcel “Ada” adalah sebuah persetujuan esensial antara kristianitas dan manusia.
2.3. Distingsi Fundamental Antara Problematik dan Misterius
Bagi Marcel ada sebuah distingsi fundamental antara problematik dan misterius. Suatu problem adalah sesuatu yang “saya” munculkan, sebuah masalah objektif di mana “saya” tidak terlibat. Suatu misteri adalah sesuatu yang mana “saya” terlibat dan esensi ini tidak sempurna. Misteri ini bukan hanya merupakan pembatasan dalam pengetahuan.
Dalam filsafat Marcel disuguhkan dua perbedaan dalam memahami perspektif baru. Problem maksudnya masalah yang diajukan kepada “saya” dari luar. Problem mempunyai konotasi “obyektif”: “saya” sendiri tidak terlibat. Suatu problem dapat dipecahkan, hingga akhirnya sudah lenyap sebagai problem. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa problem dapat dijumpai pada taraf pemikiran logis dan matematis, pemikiran yang jelas dan pemikiran teknis. Demikian juga halnya misteri.
Marcel berpendapat bahwa misteri tidak pernah diajukan kepada “saya” secara “obyektif”. Misteri tidak berada di depan atau di luar “saya”, tetapi dalam diri “saya” atau lebih tepat lagi “saya” sendiri termasuk misteri itu. Suatu misteri melibatkan “saya” sendiri. Bertanya tentang misteri serentak juga berarti bertanya tentang diri “saya” sendiri. Misteri tidak bisa dipecahkan. Bagi Marcel, pemikiran tidak dapat menghabiskan atau melenyapkan suatu misteri. Namun misteri juga tidak sama dengan “yang tidak dapat dimengerti”. Misteri melampaui kemampuan pemikiran bukan karena kegelapannya, melainkan karena cahayanya. Beberapa contoh tentang misteri yang dikemukakan dalam pembahasan kita adalah kebebasan, roh, arti kehidupan. Menurut Marcel, misteri yang paling fundamental adalah misteri Ada.
2.4. Tentang Tubuh Sebagai “Sesuatu” yang Kita miliki atau Rasa Memiliki
Berbicara tentang tubuh, Marcel mengarahkan kita untuk sampai pada suatu refleksi. Refleksi pertama adalah kita dibimbing untuk berpikir tentang tubuh kita sebagai sesuatu yang kita miliki atau rasa memiliki. Tetapi ini tidak cukup. Marcel berpendapat bahwa saya memiliki hubungan dengan tubuhku atau ada yang berinkarnasi di dalamnya. Di sini ada sebuah elemen misteri, sesuatu yang melampaui batas. Refleksi kedua yaitu berpikir tentang diri dalam kesatuan dengan tubuh. Di sini saya diikutsertakan dalam relasi dengan tubuhku. Saya berinkarnasi dalam tubuhku. Refleksi ini menghantar saya pada batas-batas refleksi tentang subyek-obyek.
Dalam kajiannya, Marcel mengungkap tabir yang terselubung dalam hidup manusia. Di dalam hidup manusia ada dikenal istilah tubuh sebagai tubuhku. Bagaimana hal ini dipahami? Marcel mengawalinya dengan mengajukan suatu masalah mengenai kaitan antara tubuh dengan terminologi “mempunyai/memiliki” dan “Ada”. Suatu persoalan adalah “saya” mempunyai tubuhku ataukah “saya” adalah tubuhku? Kalau “saya” katakan bahwa “saya” mempunyai tubuhku, “saya” terbentur pada belbagai kesulitan. Tubuhku bagi “saya” bukan obyek. Bukan salah satu tubuh atau sembarang tubuh. Marcel menambahkan bahwa dalam tubuhku “saya” berpartisipasi dalam dunia dan dalam hubungannya dengan orang lain serta segala sesuatu. Dia memaksudkan ini supaya kita sadar akan elemen misteri dalam pengalaman kita sebagai manusia di dunia, dalam diri orang lain, sesuatu dan dalam ada.
Pernyataan tentang “saya” mempunyai tubuhku” hendak mengatakan suatu claim , suatu keperluan untuk memelihara, dan suatu penguasaan. Ada kesulitan bahwa kemungkinan kita memandang tubuh sebagai alat. Sebuah alat berada di tengah pemakai dan hal yang dikerjakan. Sangat jelas bagi kita bahwa jika kita menganggap tubuh sebagai alat, kita terjerat dalam rupa-rupa kesulitan yang tidak ada jalan keluarnya. Perlu kita pahami bahwa sejauh tubuh adalah tubuhku, tubuh tidak merupakan alat begitu saja dan tidak pula merupakan obyek yang dapat dihadapkan dengan aku sebagai subyek. Bagi Marcel, Tubuh adalah “alat absolut”. Artinya alat yang memungkinkan alat-alat tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain. Selain itu, tubuh adalah prototipe di bidang ‘mempunyai”, artinya yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh suatu yang lain.
2.5. Kesetiaan Sebagai Sentral Dalam Membangun Relasi Intersubyektif
Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif antara manusia. Kesetiaan, menurut Marcel adalah bersama dengan kehadiran orang lain. Kesetiaan bukan hanya konstansi atau berakar dalam realitas transendeen. Tetapi kesetiaan adalah lebih dari konstansi yang dipahami sebagai ketekunan dalam pencapaian tujuan. Kesetiaan melibatkan Adaku yang sekarang bagi orang lain.
Salah satu kata kunci untuk melukiskan hubungan manusia dengan sesamanya adalah kehadiran (presence). Menurut Marcel misteri Ada tidak tampak dengan cara yang semestinya, kalau tidak diselidiki dri sudut intersubyektivitas, artinya relasi antar-manusia. “Ada” selalu berarti “Ada bersama”. Istilah kehadiran (presence) bukanlah berarti berada di tempat yang sama. Kata ini tidak boleh dimengerti secara “obyektif”, dengan menerapkan kategori-kategori ruang dan waktu, tetapi lebih pada keterarahan diri yang satu bagi yang lain. Atau dapat dikatakan bahwa kehadiran itu perjumpaan “Aku” dan “Engkau”.
Marcel memahami bahwa istilah relasi “Aku” dan “Engkau” hendak menunjukkan bahwa sesama manusia tampak bagi “saya” justru sebagai sesama. Sesama hadir bagi “saya” bila ia lebih dari salah satu individu; bila “saya” sungguh-sungguh mengadakan kontak dengan dia sebagai persona. “kehadiran” ini dapat diwujudkan, biarpun dalam ruang kita saling berjauhan. Kehadiran direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Di sini Aku dan Engkau mencapai taraf “Kita”. Pada taraf Kita , Aku dan Engkau diangkat menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian. Dengan demikian timbullah kebersamaan. Kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif.
Dalam pengkajian selanjutnya, Marcel menegaskan bahwa kebersamaan ini menurut kodratnya harus berlangsung terus. Karena itu dalam pengalaman cinta terkandung juga bahwa “Aku” mengikat diri dan tetap setia (fidelity). Kesetian ini disebut sebagai “kesetiaan kreatif” (creative fidelity). Kesetiaan adalah sentral bagi relasi intersubyektif. Kesetiaan melibatkan adaku yang sekarang bagi orang lain. Kesetiaan melibatkan komitmen tanpa syarat dan ada yang bersedia bagi orang lain. Aksi dari kesetiaan kepada orang lain dipahami sebagai kerendahan hati. Kesetiaan adalah juga sebuah persembahan diri kita bagi orang lain. Kesetiaan dialami sebagai hati dari batas egosentrisitas kita sendiri. Demikian kesetiaan mengarahkan kita semakin beriman kepada yang absolut, Tuhan.
2.6. Kesetiaan Mengarahkan Kita Beriman Pada Batas Diri yang Absolut/ Tuhan
Marcel memberikan suatu adanya pengharapan. Dia melihat bahwa refleksi filosofis tentang kehadiran orang lain menghantar kita kepada kehadiran dari “yang lain” secara istimewa yaitu Allah. Kehadiran yang dijiwai oleh kesetiaan justru menghantar kita untuk semakin mengenal Allah. Kesetiaan adalah bagian dari iman. Dalam iman, kita akan menemukan kemungkinan dan jaminan dari kesetiaan kita. Marcel pernah mengatakan bahwa “saya” dibimbing/ dihantar pada Ada yang dari awal dan “saya” menjadi penuh sebagai manusia dalam kesatuaan dengan orang lain dan Tuhan.

III. RELEVANSI
Marcel menitikberatkan filosofisnya pada keadaan manusia. Di dalam diri manusia ditemukan kehadiran yang harmonis antara Aku –Engkau. Manusia tampak bagi “saya” sebagai sesama bukan sebagai obyek dari diri “saya”. Kehadiran sesama direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Dengan cinta relasi Aku dan Engkau menjadi Kita. Kata “Kita” hendak menegaskan kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif. Sebuah problem akan muncul mana kala sesama ku yang lain dijadikan sebagai obyek sasaran. Kita ambil salah satu peristiwa di Fillipina yang memilukan hati baru-baru ini, yaitu 57 orang terbantai oleh kekejaman Andal Ampatuan Jr. peristiwa ini terjadi pada tanggal 25 November 2009 yang lalu.
Pembantaian 57 Orang di Manguindanao
Sebanyak 57 orang, sebagian besar perempuan dan wartawan, dibantai di wilayah Mindanao. Menurut sumber harian Kompas bahwa para korban itu ditangkap pada saat mereka sedang melakukan perjalanan konvoi dengan isteri Mangudadatu, ketika dia akan ke kantor komisi pemilihan umum untuk mendaftarkan suaminya yang mencalonkan diri sebagai gubernur. Pihak militer mengatakan, tertuduh utama dalam aksi penculikan dan pembunuhan itu adalah orang-orang bersenjata yang disewa oleh gubernur Maguindanao, Andal Ampatuan, dan putranya yang bernama sama. Satu alasan mengapa mereka dibunuh karena kelompok politik kuat itu ingin menghentikan langkah Mangudadatu yang menantang Ampatuan junior untuk meraih jabatan gubernur dalam pemilihan umum nasional tahun depan (2010).
Sebuah misteri Ada tercabik-cabik dalam sebuah drama pembantaian dengan kedok ketakutan akan kehilangan kuasa. Kuasa memainkan peran untuk membungkam orang-orang yang tidak bersalah. Gambaran ketidak-bersalahan itu tercermin dalam diri kaum perempuan dan para wartawan yang korban pembantaian. Mereka adalah sesama yang tidak berdaya untuk melawan, sebab mereka tidak dibekali oleh senjata pengaman diri sebagaimana kaum pembunuh yang dilengakapi dengan senjata dan amunisi yang mematikan.
Kini kita melihat bahwa sebuah kebebasan, individualitas, pilihan, demikian juga sebuah tanggung jawab sesama, larut bersamaan seiring adanya pembantaian ini. Pembantaian menyisihkan ragam kecemasan dalam diri manusia yang lain. Pembantaian kini menghilangkan relasi Aku-Engkau. Pembantaian menjauhkan kebersamaan “Kita”. Pembantaian membuat kehadiran yang lain terputus dalam suasana yang menyedihkan. Pembantaian menjadikan kehadiran yang lain kini mencemaskan dan membawa duka yang mendalam bagi “Kita”. Pembantaian memporak-porandakan kebersamaan yang komunikatif yang telah terbangun dalam penuh kesetiaan. Pembantaian membuat creative fidelity menjadi berlaku surut. Dan pembantaian hanya bisa menghadirkan persoalan baru dalam relasi sesama yang tidak lagi harmonis.
Melihat peristiwa ini, kita tidak perlu pesimis bahwa segala-galanya akan berlalu, namun kita perlu memiliki suatu harapan bahwa kebenaran akan tetap tegak seiring dengan dibangunnya kembali relasi yang baik demi mewujudkan terjalinnya suatu kebersamaan.

IV. PENUTUP
Dalam paper ini diangangkat sebuah refleksi tentang pengalaman diri manusia. Pengalaman manusia sudah lebih dahulu dikembangakan oleh Marcel dalam refleksi-refleksi filosofisnya. Sangat mengagumkan bagi kita bahwa dalam diri manusia ditemukan Aku yang lain. Aku yang lain tercermin dalam relasi antara Aku-Engkau yang menghadirkan sesama sebagai persona.
Manusia sebagai persona adalah suatu misteri yang melaluinya kita bisa mengenal yang absolut, atau biasa kita sebut sebagai Tuhan. Mengenal sesama, Tuhan dengan baik tidak bisa dilepaskan dari sebuah relasi yang baik dalam sebuah kebersamaan yang komunikatif. Bila kita ingin mengedepankan kebersamaan yang komunikatif, maka kita hendaknya tetap memiliki semangat persaudaraan dalam “Kita” yang semangat dan kreatif (creative fidelity).